Mohon tunggu...
Rullysyah
Rullysyah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis

Belajar dan Berbagi

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Berbicara tentang Jokowi Efek, di Mana Sebenarnya Tolok Ukurnya?

10 April 2014   04:48 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:51 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemilu Legislatif 2014 sudah dilaksanakan kemarin siang tanggal 9 April 2014 yang kemudian dilanjutkan dengan perhitungan cepat/ Quick Count dari berbagai lembaga survey yang menghasilkan perolehan suara 19,1 Persen untuk PDIP, 14,6 Persen untuk Golkar, 12,1 Persen Gerindra, 9,9 Persen Demokrat, 9,0 Persen PKB, dan seterusnya.

Dan seusai hasil Quick Count direlease, begitu banyak orang membicarakan tentang Jokowi Efek dan menyimpulkan kemenangan PDIP yang ‘hanya’ 19,1 persen tersebut membuktikan bahwa Jokowi Efek yang digaungkan/ ditakutkan ternyata tidak terjadi atau tidak mencapai hasil yang maksimal.

Hal itu juga berarti bahwa hampir semua orang/ semua pihak sebelum Pemilu digelar telah memprediksi bahwa Pencapresan Jokowi yangdiumumkan oleh PDIP sebelum Pemilu Legislatif akan menghasilkan angka perolehan PDIP dikisaran 25 persen.

Apakah itu yang disebut sebagai tolok ukurnya?

Prabowo Efek , SBY Efek dan Rhoma Efek

Setelah ada istilah Jokowi Efek pada Pemilu Legislatif ini kemudian timbul juga istilah Prabowo Efek, SBY Efek dan Rhoma Efek. Apakah cukup tepat kita memakai istilah-istilah seperti itu?

Partai Gerindra dengan capresnya Prabowo pada Pemilu legislative 2014 ini memperoleh kenaikan perolehan suara yang signifikan dimana pada tahun 2009 Gerindra hanya memperoleh 4,67% sedangkan untuk Pileg 2014 Gerindra mencapai 12,1%, berarti ada kenaikan sebesar 7,5 persen atau hampir 200 persen tingkat kenaikannya.

Begitu juga dengan yang terjadi pada waktu tahun 2009 dimana sebelumnya pada Pemilu 2004 Demokrat hanya memperoleh 7,85 persen dan tahun 2009 dengan mencalonkan SBY sebagai Presidennya Demokrat memperoleh hasil 20.84 persen. (tingkat kenaikan sebesar 13%).

Apakah yang terjadi dengan Gerindra bisa disebut Prabowo Efek dan yang terjadi pada Demokrat bisa disebut juga dengan SBY Efek?

Dunia politik tanah air memang sering disebut orang dengan politik Ketokohan dimana orang/ pemilih tidak melihat partainya melainkan melihat siapa pemimpinnya ataupun siapa calon presidennya. Jadi bisa saja kenaikan signifikan yang terjadi di Gerindra tahun 2014 adalah efek dari Prabowo sementara untuk Demokrat pada tahun 2009 kita sebut saja sebagai SBY Efek.

Lalu bagaimana dengan Jokowi dimana PDIP pada tahun 2009 memperoleh suara 14,01% dan pada tahun 2014 dengan mengusung Jokowi sebagai capres menghasilkan perolehan suara 19,1%. Apakah berarti nilai Jokowi Efek hanya 5%, dan berarti kalah jauh dengan SBY Efek maupun Prabowo Efek?

Sebenarnya ada hal yang sangat berbeda kondisinya antara SBY- Prabowo dengan Jokowi dimana SBY dan Prabowo sudah bertahun-tahun menjadi Ikon daripada partainya. Demokrat identik dengan SBY sementara Gerindra identik dengan Prabowo. Dan keduanya adalah Pemimpin Tertinggi partai sedangkan Jokowi adalah Kader Partai yang ditunjuk untuk menjadi Calon Presiden dimana sebenarnya PDIP masih identik dengan Megawati dan Jokowi adalah kader terbaiknya.

Jadi mungkin sebenarnya tidak adil kalau membandingkan Jokowi Efek dengan SBY Efek maupun Prabowo Efek.

Disisi lain SBY dan Prabowo memiliki waktu bertahun-tahun dengan status sebagai Calon Presiden dari partainya sementara Jokowi hanya memiliki waktu efektif 2 bulan menjadi Capres dan langsung ‘bertarung’ di Pemilu Legislatif.Kata bertarung diberi tanda kutip artinya partainya yang bertarung sementara Jokowi hanya sebagai salah satu pendulang suara/ Vote Getter.

Disisi lain bila kita berbicara tentangSBY yang pada tahun 2004 sudah berbekal modal menjadi Presiden, kemudian bertarung di Pemilu berikutnya pada tahun 2009 dengan perolehan partainya hanya 20,3p sementara PDIP dengan posisi sebagai partai Oposisi dengan modal tambahan Calon Presiden baru dengan umur pencapresan baru 2 bulan dapat mencapai perolehan 19,1p. Sebenarnya itu hasil yang tidak terlalu buruk untuk PDIP.

Penulis sendiri lebih suka memandang Jokowi sebagai suatu Fenomena Politik saja dan belum yakin untuk memberi label Jokowi Efek kepada PDIP karena umur popularitas Jokowi belum 2 tahun dan umur pencapresannya baru dalam waktu 2 bulan saja.

Jokowi mungkin lebih pantas disebut sebagai fenomena Politik dimana dalam waktu satu setengah tahun belakangan ini dunia politik kita mengenal satu kata popular yaitu BLUSUKAN.Suatu gaya kepemimpinan yang menjadi trend di 2014 meskipun sebenarnya sudah pernah dilakukan oleh Soeharto pada belasan tahun sebelumnya.

Icon PDIP sampai dengan saat ini adalah identik dengan Megawati Soekarnoputri, sementara Jokowi hanya identik dengan Blusukan.

Lalu bagaimana dengan Rhoma Irama yang juga menyandang status sebagai capres PKB ? Bukankah pada sebelum Pemilu Legislatif 2014 digelar PKB diprediksi oleh berbagai lembaga survey dan banyak pengamat hanya akan memperoleh angka 4-7 persen ternyata dalam Pileg ini malah berhasil mencapai perolehan angka hingga 9 % , apakah itu adalah Rhoma Efek untuk PKB?

Mungkin dari paparan diatas ini bisa kita gali lagi dan kaji lagi sehingga bisa menentukan apakah memang benar istilah Jokowi Efek, Prabowo Efek dan Rhoma Efek dapat digunakan bersama-sama untuk Pemilu Legislatif tahun ini hingga pemilu legislative tahun 2019.

Salam Kompasiana.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun