“Siapa yang salah kalau tiba-tiba terjadi suatu kondisi di negeri ini dimana DPR, MPR dan MK dikuasai satu golongan tertentu? Tentu yang bersalah adalah pemimpin-pemimpin tertinggi yang ada sesaat tragedi itu akan terjadi”. Mereka lah yang dengan sengaja membuat negeri ini menjadi milik dari golongan tertentu”.
Tanda-tanda kearah itu kelihatannya sudah ada. Sejak tanggal 8 Juli 2014 telah terjadi sekelompok partai membentuk Oligarki dan merubah satu UU yang kita kenal dengan nama UU MD3. Pada saat itu sudah banyak pihak yang memprotes UU tersebut. Sebut saja KPK, ICW dan lain-lainnya sudah bersuara tentang pasal-pasal yang memberi kekebalan hukum terhadap para Legislatif. Tetapi protes itu sekedar protes karena keesokannya harinya masyarakat Indonesia akan melaksanakan Pemilu Presiden.
Liciknya kelompok tersebut adalah mengesahkan suatu UU sehari sebelum Pemilu Presiden digelar dimana seluruh mata 250 juta penduduk yang ada sedang terkonsentrasi pada Pesta Demokrasi 5 tahunan ini.Tanggal 8 Juli sampai tanggal 22 Juli 2014 bisa dikatakan tidak ada seorangpun dari masyarakat kita yang memperhatikan dengan teliti tentang UU yang baru tersebut.
Bahkan Lebih liciknya lagi, kelompok itu berusaha dengan sengaja memperpanjang masa Pemilu dengan mengajukan Gugatan abal-abal ke Mahkamah Konstitusi sehingga bisa dikatakan penentuan Pemenang Pemilu mundur waktunya hingga tanggal 22 Agustus 2014 sesuai dengan Hasil Putusan MK yang memperkuat Penetapan Pemenang Pilpres 2014 oleh KPU.
Bila melihat materi gugatan yang abal-abal, Rekapitulasi Perhitungan suara yang asal-asalan, Saksi-saksi yang tidak berkompeten dan lain-lainnya mungkin bisa dikatakan Gugatan itu hanyalah gugatan yang dilandasi emosional dan ambisi untuk berkuasa saja. Meskipun ada 2 Hakim Kontitusi yang berasal dari kelompok licik tersebut tetapi karena gugatannya kurang masuk akal dan tidak kuat argumennya sehingga sangat sulit bagi MK untuk mencari dalil-dalil yang dapat mengabulkan Gugatan tersebut.
Selanjutnya, sesaat setelah Putusan MK dikeluarkan, kembali lagi Kelompok Licik ini beraksi dengan memperpanjang masalah Pilpres ke PN dan PTUN. Bahkan mereka juga membuat wacana Pansus Pilpres di DPR yang membuat masyarakat merasa kesal karena Pilpres 2014 sepertinya tidak usai-usai juga.
Analisa saya mengatakan bahwa Wacana Pansus Pilpres dan gugatan ke PN dan PTUN yang salah alamat itu sengaja ditiupkan kelompok ini agar rencana licik utamanya berjalan lancar. Mereka hanya mengulur-ulur waktu hingga sampaipada saat pergantian Parlemen. Apa rencana licik itu? UU MD3 tentunya.
A)PLAN A, PLAN B dan PLAN C.
Kelompok Licik ini sejak awal memang mentargetkan PEREBUTAN KEKUASAAN. Koalisi ini atau kelompok licik ini sejak awal dibangun untuk mengalahkan Kekuatan / Elektabilitas dari Jokowi dan PDIP. Mirip seperti Poros Tengah pada tahun 1999 yang berhasil merampok kemenangan Megawati dan PDIP paska lengsernya Soeharto. Secara licik Poros Tengah yang dibangun Amin Rais mendalilkan kekuatan kelompok Islam untuk merebut Kursi Presiden. PKB dijadikan ujung tombaknya dan Gus Dur diangkat untuk menjadi Presiden. Tetapi kemudian setelah Gus Dur tidak bisa dikendalikan kelompok ini maka Gus Dur pun dijatuhkan.
Kembali ke Kelompok Licik ini, kita sama-sama ingat bahwa setelah Pemilu Legislatif digelar dengan kemenangan PDIP (awal Mei 2014), maka Provokator Licik tahun 1999 tersebut turun gunung dan mendeklarasikan sebuah Koalisi dengan nama Koalisi Indonesia Raya. Kali ini partai Gerindra yang dijadikan ujung tombaknya dengan mendukung Prabowo menjadi Calon Presiden.
Pada saat pertama dideklarasikan, Koalisi ini ditolak mentah-mentah oleh PKB karena mengingat peristiwa tahun 1999. Begitu juga dengan Golkar yang belum mau bergabung karena ARB masih memiliki ambisi besar untuk menjadi Calon Presiden.
Tetapi kemudian setelah ARB pontang-panting kelelahan mencari teman koalisi tanpa hasil, maka bergabunglah ARB dan Golkar ke Kelompok licik ini. Mereka juga berhasil menggaet partai Demokrat karena beberapa hal yang mendukung. Ada Ibas Yudhoyono yang terkait hubungan keluarga, ada kelompok kecil yang membenci Jokowi dan ada SBY yang selama 10 tahun merupakan “musuh” dari Megawati.
Jadilah Kelompok licik dengan kekuatan politik yang sangat besar yang kemudian menamakan dirinya Koalisi Merah Putih. Mereka langsung melakukan Grand Design untuk MEREBUT KEKUASAAN.
Untuk merebut Kekuasaan secara terstruktur, massif dan sistematis tentu memerlukan beberapa rencana besar dengan segala resiko dan varian-variannya. Kemungkinan mereka sudah membuat 3 Plan besar pada saat itu yaitu Plan A, Plan B dan Plan C.
Plan A adalah Merebut Kekuasaan Eksekutif dengan cara memenangkan Pilpres 2014 dengan berbagai cara, apapun caranya. Dan kita semua menjadi saksi begitu masifnya Black Campaign dilakukan oleh kelompok ini. Begitu juga memanggil Konsultan Politik dari Amerika dan lain-lain sebagainya.
Selain melakukan Plan A, kelompok ini juga sejak awal melakukan Plan B sekaligus yaitu Merebut Kekuasaan Legislatif. Seperti yang sudah dituliskan diatas, Paska Pemilu Legislatif Kelompok ini sudah berhitung kekuatan kelompoknya di Parlemen. Mereka langsung menyusun rencana besar untuk menguasai Kekuasaan Legislatif. Secara licik mereka mengesahkan UU MD3 pada saat sehari sebelum Pilpres digelar sehingga luput dari perhatian siapapun di luar mereka.
Selanjutnya yang terjadi ternyata Plan A (memenangkan Pilpres/ kekuasaan eksekutif) gagal sehingga Plan B (merebut kekuasaan Legislatif ) harus dilakukan segera secara sistimatis dan terstruktur. Lihatlah upaya-upaya mereka membuat wacanan-wacana Pansus Pilpres yang secara logika tidak masuk akal karena masa kerja DPR sudah mau berakhir. Begitu juga dengan gugatan-gugatan abal-abal ke PN dan PTUN. Semua itu dilakukan untuk mengelabui khalayak ramai sehingga tidak jeli melihat ada “serangan besar” yang sudah dilakukan oleh mereka, yaitu UU MD3 yang sangat-sangat memfasilitasi kelompok ini untuk berkuasa di Parlemen. #ItuSudahDiatur.
Dan ketika Plan B dilaksanakan, kembali lagi mereka melancarkan serangan dengan menggulirkan Plan C yaitu Menguasai Birokrasi-birokrasi Daerah. Plan C ini mungkin tidak direncanakan sejak awal, tetapi pada saat Sidang Gugatan di MK berjalan dan kelihatanya hasilnya tidak akan sesuai dengan harapan, maka kelompok licik inipun mulai mencari cara untuk memperkuat Plan B.
Dan berhasil! Mereka mendapatkan celah dari RUU Pilkada yang sedang dibahas di DPR. Sangat nyata mereka mempergunakan kesempatan ini dimana tadinya seluruh partai pendukung kelompok ini menolak Pilkada Tak Langsung. Tetapi melihat peluang untuk berkuasa di Birokrasi-birokrasi daerah,maka berbaliklah partai-partai kelompok ini untuk menggulirkan UU Pilkada Tak Langsung.
Sayangnya Plan C ini sangat sulit dilakukan karena 3 hal. Yang pertama, begitu banyaknya penolakan-penolakan keras baik dari masyarakat maupun tokoh-tokoh/ kepala-kepala daerah yang ada. Dan Kedua, Plan C ini akan menghancurkan nama besar SBY dan Demokrat yang merupakan salah satu pendukung Kelompok licik ini. Dan factor ketiga adalah secara konstitusi, UU Pilkada Tidak Langsung ini sangat lemah dasar hukumnya sehingga mudah dipatahkan di Mahkamah Konstitusi meskipun 2 hakim konstitusi berasal dari kelompok ini.
Dan karena Plan C tidak dapat dilaksanakan,maka dibuatlah sebuah sandiwara dengan judul Dagelan Politik 26 September dan dilanjutkan lagi dengan Dagelan Politik Perppu.
B)MAHKAMAH KONSTITUSI ADALAH LEMBAGA YANG BERMASALAH.
Sebenarnya sudah banyak orang yang paham bahwa Benteng Keadilan terakhir negeri ini yaitu Mahkamah Konstitusi sudah lama di intervensi oleh Pemerintah maupun Elit-elit jahat negeri ini. Sejak Prof. Mahfud MD yang menjadi Ketua nya, sebenarnya Mahkamah Konstitusi ini sudah bermasalah.
Kita masih ingat jelas bahwa pada tahun 2011 Mahfud MD dan Hakim-hakim Konstitusi tidak berdaya untuk meneggakkan Hukum! Mahfud dan para Hakim Konstitusi bersikap aneh dalam menghadapi Gugatan Lily Wahid dan Efendi Khoiri yang menggugat Hak Recall Partai.
Pasal 213 Ayat 2 dari UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (sekarang terkait UU MD3) yang mengatur tentang Hak Recall sebenarnya memang Pasal Yang sangat Berbahaya. Ayat 2 Pasal 213 dari UU No.27 Tahun 2009 sebenarnya bisa disebut dengan Ayat-ayat Setan.
Ayat-ayat ini begitu sering dijadikan senjata pamungkas Parpol untuk mengendalikan Fraksi-fraksinya di DPR. Dengan Senjata ini maka setiap anggota DPR harus tunduk dengan apa kata Elit Partainya. Kalau tidak menurut atau melawan kehendak Elit Parpol, maka anggota DPR tersebut diRecall alias Dipecat alias diganti dengan kader lainnya.
Kita saksikan sama-sama pada tahun 2011 dimana Gugatan yang diajukan oleh Lily Wahid dan Efendi Choiri yang dipecat PKB karena bersebrangan soal Hak Angket Mafia Pajak, ternyata oleh MK dibawah pimpinan Mahfud MD diabaikan sama sekali. Lily Wahid tidak pernah dipanggil oleh MK selama 7 bulan berkas gugatan di MK. Setelah itu tiba-tiba MK menyatakan menolak gugatan Lily Wahid tanpa ba bi bu.
Lily Wahid tidak bisa berbuat apa-apa karena Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 mengatakan Putusan MK adalah Final dan Mengikat. Dan Ketua MK pada saat itu adalah Mahfud MD yang berasal dari PKB.
Bohong kalau Mahfud MD tidak mengetahui dan memahami bahwa pasal 213 ayat 2 UU No.27 tahun 2009 adalah Ayat Setan yang sangat berbahaya bagi Demokrasi bangsa ini. Tapi yang terjadi adalah Intervensi dari penguasa terlalu kuat sehingga Mahfud pun tidak bisa berbuat apa-apa.
Dan setelah periode Mahfud MD, Pemimpin nasional kita dan juga Parlemen kita tetap tidak berubah! Mereka masih saja mengintervensi Mahkamah Konstitusi dengan menyelundupkan kader-kader Partai Politiknya. Dan terjadilah Malapetaka Dasyat dengan Terungkapnya manusia paling jahat se Indonesia yaitu Akil Mochtar. Ambruk sudah kepercayaan masyarakat terhadap Pilar Terkuat keadilan bangsa ini yaitu Mahkamah Konstitusi.
Tapi setelah peristiwa memalukan Akil Mochtar itu, masih saja saat ini 2 orang Hakim Konstitusi berasal dari partai politik yaitu Hamdan Zoelva dari PBB dan Patrialis Akbar dari PAN. Kedua partai tersebut adalah anggota Kelompok Licik tersebut diatas.
Dan ketika MK harus memutuskan Gugatan Prabowo tentang Hasil Pilpres 2014, para Hakim Konstitusi meskipun 2 diantaranya berasal dari KMP tetapi sangat sulit mengatur untuk mengabulkan Gugatan Prabowo dimana gugatan tersebut begitu lemah dalam substansinya maupun materi gugatannya.
Tetapi lihatlah yang terjadi seminggu yang lalu bagaimana cara MK menolak Gugatan PDIP tentang UU MD3. Dari9 Hakim konstitusi yang ada, 2 orang menyetujuinya dan 7 orang menolaknya. Dan dari 7 Hakim Konstitusi yang menolak gugatan UU MD3, 2 diantaranya berasal dari partai politik pendukung Kelompok Licik ini. Malah salah satunya adalah Ketua Mahkamah Konstitusi. Tidak heran maka kemudian 5 Hakim Konstitusi yang lain bisa dipengaruhi oleh kedua hakim yang berasal dari Parpol pendukung Koalisi Jahat itu.
Jelas sekali secara logika normal bahwa UU MD3 meskipun tidak bertentangan dengan Konstitusi tetapi UU MD3 ini sangat memfasilitasi akan terbentuknya Oligarki di Parlemen. Dengan pemilihan Ketua DPR dan 4 Wakilnya yang harus diusung 5 Fraksi maka secara tidak langsung kondisi tersebut menyebabkan terjadinya suatu kelompok yang amat dominan.
Kelompok atau koalisi dominan di DPR ini akan selalu dapat mengalahkan Koalisi yang lain yang merupakan Koalisi Minoritas. Dan bisa dikatakan untuk kedepannya kelompok Dominan ini akan selalu memenangkan setiap Voting yang dilakukan oleh Sidang-sidang DPR sehingga semua Keputusan-keputusan DPR di masa mendatang ditentukan oleh Koalisi Dominan.
Sangat-sangat heran kalau Para Hakim Konstitusi tidak mempertimbangkan hal tersebut pada Gugatan UU MD3 oleh PDIP. Belum lagi masalah kekebalan hukum anggota Dewan yang difasilitasi UU MD3 yang buruk ini. Itulah sekali lagi dapat disimpulkan Mahkamah Konstitusi hanya menjadi alat dari partai-partai politik untuk berkuasa.
Jangan lupa pula bahwa dengan Ayat-ayat Setan yang menjadi Senjata Pamungkas Parpol yaitu Hak Recall ditambah dengan UU MD3 maka DPR kita bukan lagi Dewan Perwakilan Rakyat tetapi berubah wujud menjadi Dewan Perwakilan Parpol.
Siapa pihak yang menciptakan kondisi seperti itu? Siapa lagi kalau bukan SBY dan DPR 2009-2014.
Dan Hari Ini akan terjadi lagi sebuah Drama Politik yang akan menetapkan siapa Pimpinan-pimpinan di MPR. Akankah kembali Kelompok Licik itu berhasil menempatkan kelomponya sebagai Pimpinan MPR?
Kalau memang mereka berhasil lagi maka betapa buruknya situasi politik Indonesia untuk masa-masa mendatang.Dan Negara ini akan menjadi milik dari Segelintir Elit Politik yang menamakan dirinya Koalisi Merah Putih.
Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H