Ada dua hal mendasar yang beta garis bawahi, dari kisah ini. Pertama soal warisan aktifitas orang tua. Dulu ketika masih kecil, setiap harinya beta juga sering melakoni rutinitas serupa. Sejak SD kelas VI hingga SMP kelas III, sebelum berangkat sekolah dan pulang mengaji, kewajiban utama beta adalah keliling kampung menjual kue. Dan Hal demikian juga dijalani oleh beta punya istri.
Kedua, adalah soal ketekunan, kepedulian sosial dan kemandirian. Meski aktifitas jual roti yang dilakukan oleh Rara, lebih disebabkan karena ada iming-iming rupiah,namun secara tidak langsung dia telah mampu mengasah keteguhan dan ketekunan hati, serta kepedulian sosial dan jiwa kemandiriannya.
Memang tidak dapat dipungkiri, bahwa dunia anak adalah dunia bermain. Bermain merupakan kebutuhan dasar untuk merangsang daya kritis personal sosial (Kepribadian/tingkah laku), motorik adaftive (kemampuan untuk mengamati sesuatu) serta daya language (kemampuan untuk memberikan respon terhadap suara, mengikuti gerakan perintah dan berbicara spontan).
Disisi yang lain, membebani anak usia dini dengan pekerjaan-pekerjaan berat, sudah pasti akan menggagu proses pertumbuhan kematangan sarafnya. Dan siapa pun mereka, selaku orang tua, tentu tidak menginginkan hal itu terjadi untuk anaknya. Lantas kenapa kami tidak mengidahkan hal tersebut?
Ini bukan soal tidak adanya perhatian kami terhadap anak-anak. Bukan pula kami tidak mampu mencari nafkah guna memenuhi uang jajan dan segala kebutuhan sekolah mereka.
Â
Tapi, ini soal pilihan pembentukan karakter anak sejak dini. Dan dengan cara seperti itulah kami dididik dan dibesarkan. Sehingga dalam kondisi serumit apapun, kami dapat melewatinya dan mampu bertahan hidup hingga sekarang (*).
#Cepatlah besar nak..., dunia membutuhkan kepedulianmu...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H