Dulu sebelum ada Instagram dan media sosial, untuk melihat foto-foto seseorang atau sebuah keluarga, kita harus mampir ke rumah mereka dan membuka album foto milik mereka.
Biasanya foto-foto itu dicetak dengan warna yang entah kenapa selalu agak pudar, dan sudut pengambilan gambarnya hampir selalu miring. Tapi kita tetap tersenyum, pura-pura antusias, sambil bilang, "Wah, foto yang ini keren banget, ya!"
Kalau Instagram Ada di Tahun 1990
Nah, sekarang coba kita berimajinasi dengan membawa konsep Instagram ke era 90-an. Waktu itu, kalau kamu memotret sesuatu yang nggak penting, seperti sarapan pagi, terus keliling ke rumah teman-teman buat menunjukkan fotonya, mereka pasti mengira kamu sedang mengalami gangguan mental.
"Liat nih, foto telur ceplok yang aku makan tadi pagi! Cantik banget kan kuning telurnya?"
Respons teman kamu mungkin akan seperti ini, "Kamu nggak apa-apa? Perlu ngobrol sama seseorang? Mungkin psikiater?"
Di era 90-an, kamera dipakai buat momen penting saja. Ulang tahun, pernikahan, liburan, atau foto bersama keluarga.
Bahkan waktu itu, memotret dianggap mewah karena tidak semua orang punya kamera, harus beli roll film, dan bayar cuci cetak. Jadi nggak ada tuh namanya buang-buang jatah 24/36 foto per roll cuma buat motret hal-hal random dan nggak penting. Kecuali orang itu fotografer atau penghobi fotografi.
Ketegangan Pemilihan Foto
Era Instagram memungkinkan kita untuk memotret apa saja tanpa batas. Satu piring makanan bisa diabadikan dari 50 sudut berbeda sebelum akhirnya dipilih satu untuk diunggah.
Kalau ini diterapkan di 90-an, bisa-bisa tiga roll film habis dalam sehari. Bayangkan, kamu pergi ke restoran, pesan sepiring nasi goreng, dan memutuskan untuk memotret dari segala sudut. Setelah itu kamu datangi semua teman untuk menunjukkan hasilnya. Reaksinya? Mereka pasti diam sejenak, lalu perlahan menjauh.