Mohon tunggu...
Rully Novrianto
Rully Novrianto Mohon Tunggu... Lainnya - A Man (XY) and A Mind Besides Itself

Kunjungi juga blog pribadi saya di www.rullyn.net

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Jika Konsep Instagram Dibawa ke Tahun 90-an

21 Januari 2025   12:14 Diperbarui: 22 Januari 2025   05:04 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi album foto (Sumber: Freepik/Freepik)

Dulu sebelum ada Instagram dan media sosial, untuk melihat foto-foto seseorang atau sebuah keluarga, kita harus mampir ke rumah mereka dan membuka album foto milik mereka.

Biasanya foto-foto itu dicetak dengan warna yang entah kenapa selalu agak pudar, dan sudut pengambilan gambarnya hampir selalu miring. Tapi kita tetap tersenyum, pura-pura antusias, sambil bilang, "Wah, foto yang ini keren banget, ya!"

Kalau Instagram Ada di Tahun 1990

Nah, sekarang coba kita berimajinasi dengan membawa konsep Instagram ke era 90-an. Waktu itu, kalau kamu memotret sesuatu yang nggak penting, seperti sarapan pagi, terus keliling ke rumah teman-teman buat menunjukkan fotonya, mereka pasti mengira kamu sedang mengalami gangguan mental.


"Liat nih, foto telur ceplok yang aku makan tadi pagi! Cantik banget kan kuning telurnya?"

Respons teman kamu mungkin akan seperti ini, "Kamu nggak apa-apa? Perlu ngobrol sama seseorang? Mungkin psikiater?"

Di era 90-an, kamera dipakai buat momen penting saja. Ulang tahun, pernikahan, liburan, atau foto bersama keluarga.

Bahkan waktu itu, memotret dianggap mewah karena tidak semua orang punya kamera, harus beli roll film, dan bayar cuci cetak. Jadi nggak ada tuh namanya buang-buang jatah 24/36 foto per roll cuma buat motret hal-hal random dan nggak penting. Kecuali orang itu fotografer atau penghobi fotografi.

Foto roll film (Sumber: Freepik/Racool_Studio)
Foto roll film (Sumber: Freepik/Racool_Studio)

Ketegangan Pemilihan Foto

Era Instagram memungkinkan kita untuk memotret apa saja tanpa batas. Satu piring makanan bisa diabadikan dari 50 sudut berbeda sebelum akhirnya dipilih satu untuk diunggah.

Kalau ini diterapkan di 90-an, bisa-bisa tiga roll film habis dalam sehari. Bayangkan, kamu pergi ke restoran, pesan sepiring nasi goreng, dan memutuskan untuk memotret dari segala sudut. Setelah itu kamu datangi semua teman untuk menunjukkan hasilnya. Reaksinya? Mereka pasti diam sejenak, lalu perlahan menjauh.

Belum lagi soal caption. Waktu itu, nggak ada yang peduli soal kalimat puitis atau kutipan inspiratif. Kalau kamu tulis sesuatu seperti, "Hidup adalah perjalanan, bukan tujuan," di belakang foto, teman-temanmu mungkin akan menatapmu dengan tatapan bingung sambil bertanya, "Apaan sih ini?"

Album Foto vs. Feed Instagram

Album foto fisik adalah cikal bakal feed Instagram. Bedanya, album ini harus kamu bawa-bawa secara manual, dan isinya terbatas.

Dulu ada seni tersendiri dalam menyusun album foto. Foto pertama harus yang paling menarik, biasanya pemandangan pantai dengan langit biru cerah. Tapi seiring kamu membuka halaman berikutnya, kualitasnya mulai menurun. Ada foto buram, jari yang ikut masuk frame, atau bahkan kepala orang yang tidak masuk jepretan.

Apakah orang akan terkesan? Tidak. Mereka hanya akan tertawa atau lebih parah lagi, merasa terpaksa memberikan pujian basa-basi.

Nostalgia atau Syukur?

Meski terdengar lucu, ada sesuatu yang sebenarnya bisa kita syukuri dari era pra-Instagram. Kita hidup di waktu di mana momen lebih berarti karena setiap foto punya nilai. Nggak ada filter, nggak ada editan. Kalau fotonya jelek, ya sudah, tetap dipamerkan karena itulah kenyataannya.

Tapi di sisi lain, tidak bisa dipungkiri kalau teknologi seperti Instagram mempermudah kita untuk berbagi. Kamu nggak perlu lagi keliling hanya untuk menunjukkan foto. Tinggal unggah, dan semua orang bisa melihatnya. Meski jujur saja, nggak semua orang peduli.

Mungkin hidup di era Instagram membuat kita sedikit kehilangan makna dari sebuah momen. Kita terlalu fokus pada estetika dan jumlah like, sampai lupa menikmati detik-detiknya.

Tapi setidaknya kita tak perlu lagi bawa-bawa album foto ke mana-mana. Dan untuk itu, mungkin kita bisa mengucapkan terima kasih kepada teknologi.

Jadi kalau kamu sekarang memotret sarapan pagi, di era 90-an itu bisa bikin kamu dianggap aneh. Sekarang? Itu cuma konten biasa. Dunia memang berubah, dan kita cuma bisa ikut mengalir sambil sesekali tertawa mengenang masa lalu.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun