Sejak pengenalan program Makan Bergizi Gratis (MBG), salah satu kendala terbesar yang saya lihat adalah bukan soal anggaran atau logistik, tapi... anak-anak yang susah makan.
Iya, masalah klasik ini ternyata lebih kompleks dari sekadar memilih menu yang sehat. Saya ngomong begini karena keponakan saya sendiri adalah contoh nyata.
Makanan Sehat Kalah dengan Mi Instan
Keponakan saya ini setiap pulang sekolah langsung minta dibuatkan mi instan, nasi goreng, atau telur ceplok.
Padahal ibunya sudah berusaha banget. Dia pesan katering dengan harga Rp48.000 per hari. Tiap hari menunya ganti-ganti. Ada ayam panggang, sup daging, sampai soto. Tapi apa yang terjadi? Tetap saja makanan itu jarang disentuh.
Sebab anak kecil itu simpel: makan bukan soal gizi, tapi soal rasa dan mood. Kalau menu sehat nggak bisa memenuhi ekspektasi lidah mereka, ya sudah selesai.
Apalagi dari beberapa liputan TV yang menampilkan laporan MBG ini, banyak anak-anak yang tidak menghabiskan makanannya atau bahkan tidak dimakan sama sekali karena rasanya yang kurang cocok.
Kalau katering mahal saja sering kalah sama mi instan, bagaimana makanan (mohon maaf) seharga Rp10.000?
Pentingnya Rasa dalam Program Bergizi
Mungkin ya, program MBG ini terlalu fokus pada nutrisi tanpa memikir aspek rasa. Padahal rasa itu kunci untuk bikin anak mau makan. Kalau lauknya hambar, ya wajar kalau mereka tidak menghabiskannya.
Bahkan di sekolah tertentu ada anak yang nggak doyan nasi, sehingga harus diganti dengan kentang goreng. Bayangkan repotnya guru di sekolah yang harus membujuk mereka makan.
Saya nggak tahu bagaimana cara mereka memasaknya dan saya juga bukan ahli gizi. Mungkin saja masalahnya adalah aturan gizi yang kaku. Penyelenggara program takut memberikan bumbu tambahan yang bikin makanan menjadi kurang sehat.