Mohon tunggu...
Rully Novrianto
Rully Novrianto Mohon Tunggu... Lainnya - A Man (XY) and A Mind Besides Itself

Kunjungi juga blog pribadi saya di www.rullyn.net

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Tiga Kata Wajib Host Dadakan di Tayangan Kuliner

6 November 2024   13:44 Diperbarui: 6 November 2024   13:50 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejak tayangan kuliner semakin populer, baik di TV atau YouTube, banyak yang mencoba untuk menghadirkan host, vlogger atau reviewer dadakan untuk menyulap acara berburu makanan jadi tontonan seru.

Cuma sayangnya tidak semua dari mereka punya skill dan karakter yang nyambung dengan dunia kuliner. Alhasil ulasannya jadi terasa gitu-gitu mulu.

Yang menarik, banyak di antara mereka kerap melontarkan kata-kata andalan yang sepertinya sudah jadi skrip wajib.

1. Hidden Gem yang Tidak Lagi Hidden

Salah satu kata yang paling sering didengar dari mulut para reviewer ini adalah hidden gem. Bahkan ada yang ngawur dengan melafalkannya sebagai "haiden jem". 

Istilah ini awalnya digunakan untuk menggambarkan tempat makan yang belum banyak diketahui, seolah-olah hanya si host dan timnya yang berhasil menemukannya.

Padahal kebanyakan tempat yang mereka sebut hidden gem itu sudah ramai pengunjung, dan bahkan eksis di Google Maps dengan ribuan ulasan.

Jadi apakah masih pantas disebut hidden gem kalau sudah jadi tempat nongkrong orang banyak? Semakin lama kesan eksklusif dari kata ini mulai hilang.

Mungkin daripada terus pakai istilah hidden gem, para reviewer ini bisa lebih kreatif dalam mendeskripsikan suasana dan ciri khas tempat makan itu. Misalnya, "Tempat ini mungkin kecil, tapi rasanya nge-hits," atau "Di sini kamu bisa rasakan nostalgia." Bahasa yang lebih deskriptif mungkin akan bikin tayangan terasa lebih segar.

2. Medhok: Unik atau Gimmick?

Medhok adalah kata yang sering didengar dari food vlogger yang mencoba memperkenalkan cita rasa autentik. Biasanya, makanan yang medhok adalah yang punya bumbu kuat, intens, dan khas seakan-akan rasanya sangat Indonesia sekali.

Namun lama-kelamaan, istilah medhok ini jadi keseringan dipakai, seperti jadi kata wajib di setiap ulasan makanan lokal. Misalnya, "Gado-gadonya enak, bumbunya medhok banget!"

Apa iya, hanya dengan kata medhok bisa menggambarkan semua rasa yang kompleks itu? Padahal medhok sendiri adalah istilah yang subjektif. Apa yang medhok buat satu orang, belum tentu medhok buat orang lain.

Sayangnya, beberapa reviewer justru menggunakan kata ini seolah-olah itu adalah rasa universal yang harus kita semua pahami. Akibatnya, istilah medhok malah jadi gimmick, tanpa penjelasan lebih mendalam soal rasa sebenarnya. 

Mungkin para reviewer ini perlu sedikit lebih peka dengan detail. Misalnya, "Rasanya bawang putihnya cukup terasa, tapi cabai rawitnya malah samar." Atau, "Ada jejak ketumbar yang kuat di awal, lalu ditutup dengan pedas hangat dari jahe."

Deskripsi yang detail justru akan membawa penonton lebih larut dalam cerita rasa yang disampaikan.

3. (Kata Sifat) + Banget

Nah, ini dia formula paling klasik: (kata sifat) + banget. Contohnya, "enak banget," "gurih banget," "renyah banget."

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan ungkapan ini, tapi ketika digunakan terus-menerus dengan intensitas yang sama, kesannya jadi seperti template. Rasanya kurang variatif, kan?

Apakah kata "banget" ini benar-benar menggambarkan rasa yang mereka coba sampaikan, atau lebih karena kurangnya kosakata deskriptif mereka?

Jika satu makanan sudah enak banget, lalu yang berikutnya juga enak banget, terus apa yang membedakannya?

Padahal ada banyak kata yang bisa dipakai untuk menjelaskan rasa makanan yang unik. Kata-kata seperti "menggigit," "menyengat," atau "melekat" bisa jadi alternatif yang lebih menarik.

Misalnya, "Rasa pedasnya langsung menyengat di lidah, sampai mata berkaca-kaca!" atau "Gurihnya melekat di langit-langit mulut, bikin nggak mau berhenti makan."

Mungkin sudah waktunya para reviewer ini belajar lebih banyak kata deskriptif, atau minimal berusaha lebih menggambarkan rasa daripada sekadar menambahkan "banget."

Perlu Kreativitas dalam Menjadi Reviewer

Food reviewer/vlogger yang baik adalah mereka yang mampu membuat penontonnya membayangkan rasanya, aroma, tekstur, bahkan atmosfer dari tempat makan yang dikunjungi.

Saya sebagai penonton berharap tayangan kuliner bisa lebih berani dalam menyajikan host yang paham soal makanan, bukan sekedar pamer "eksplorasi rasa" dengan kata-kata klise. Dalam dunia mengulas makanan, deskripsi yang kaya dan jujur jauh lebih penting daripada sekadar gimmick atau sensasi.

Jadi buat kamu yang bermimpi jadi food vlogger, ingatlah: lebih baik cari kata-kata yang benar-benar bisa mewakili rasa. Jangan cuma bergantung pada kata-kata klise.  Penonton pantas mendapatkan ulasan yang lebih dari sekadar "enak banget!"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun