Apa iya, hanya dengan kata medhok bisa menggambarkan semua rasa yang kompleks itu? Padahal medhok sendiri adalah istilah yang subjektif. Apa yang medhok buat satu orang, belum tentu medhok buat orang lain.
Sayangnya, beberapa reviewer justru menggunakan kata ini seolah-olah itu adalah rasa universal yang harus kita semua pahami. Akibatnya, istilah medhok malah jadi gimmick, tanpa penjelasan lebih mendalam soal rasa sebenarnya.Â
Mungkin para reviewer ini perlu sedikit lebih peka dengan detail. Misalnya, "Rasanya bawang putihnya cukup terasa, tapi cabai rawitnya malah samar." Atau, "Ada jejak ketumbar yang kuat di awal, lalu ditutup dengan pedas hangat dari jahe."
Deskripsi yang detail justru akan membawa penonton lebih larut dalam cerita rasa yang disampaikan.
3. (Kata Sifat) + Banget
Nah, ini dia formula paling klasik: (kata sifat) + banget. Contohnya, "enak banget," "gurih banget," "renyah banget."
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan ungkapan ini, tapi ketika digunakan terus-menerus dengan intensitas yang sama, kesannya jadi seperti template. Rasanya kurang variatif, kan?
Apakah kata "banget" ini benar-benar menggambarkan rasa yang mereka coba sampaikan, atau lebih karena kurangnya kosakata deskriptif mereka?
Jika satu makanan sudah enak banget, lalu yang berikutnya juga enak banget, terus apa yang membedakannya?
Padahal ada banyak kata yang bisa dipakai untuk menjelaskan rasa makanan yang unik. Kata-kata seperti "menggigit," "menyengat," atau "melekat" bisa jadi alternatif yang lebih menarik.
Misalnya, "Rasa pedasnya langsung menyengat di lidah, sampai mata berkaca-kaca!" atau "Gurihnya melekat di langit-langit mulut, bikin nggak mau berhenti makan."
Mungkin sudah waktunya para reviewer ini belajar lebih banyak kata deskriptif, atau minimal berusaha lebih menggambarkan rasa daripada sekadar menambahkan "banget."