Pilkada hijau di Indonesia? Hmm, rasanya masih seperti mimpi di siang bolong. Kenapa? Karena urusan lingkungan bukanlah fokus utama para calon kepala daerah. Apalagi ketika mereka punya "senjata" yang lebih manjur untuk menarik suara: serba gratisan.
Isu Lingkungan Tidak Laku Karena Gratisan Lebih Menarik
Bayangkan calon kepala daerah datang dengan visi lingkungan yang mumpuni: menanam pohon, mengurangi emisi, menambah ruang terbuka hijau. Kedengarannya indah kan?
Tapi masalahnya, siapa yang benar-benar peduli? Jujur saja, di Indonesia visi semacam itu jarang dianggap 'seksi' di mata pemilih. Masyarakat kita lebih mudah tertarik dengan tawaran yang kelihatan langsung manfaatnya, seperti sekolah gratis, berobat gratis, atau bahkan makan gratis. Gratisan, bro! Siapa yang nggak mau?
Para kandidat pun paham banget soal ini. Mereka sadar kalau visi "serba hijau" tak akan menjamin suara sebanyak visi "serba gratis." Bagi mereka, suara pemilih adalah segalanya.Â
Sayangnya, visi lingkungan belum bisa berkompetisi di situ. Kalau ditanya, "Apakah masyarakat nggak peduli lingkungan?" Mungkin peduli, tapi yang lebih tepat adalah masyarakat lebih peduli isi dompet mereka saat ini. Apalagi perekonomian sedang tidak baik-baik saja. Jadi ya wajar saja kalau isu lingkungan bukan jadi prioritas para paslon.
Ironi di Era Digital, Masih Pakai Puluhan Ton Kertas
Lalu mari kita bicara soal proses pemilihan itu sendiri. Katanya ini era digital, tapi kenyataannya puluhan ton kertas masih dipakai untuk surat suara dan alat peraga kampanye. Ironis bukan?
Seolah-olah pilkada hijau hanyalah wacana. Kita masih melihat lautan kertas di TPS. Belum lagi alat peraga kampanye berupa baliho yang bertebaran di pinggir jalan, di tiang listrik, bahkan dipaku di pohon-pohon!
Ini jelas sebuah kontradiksi. Apalagi di era digital ini, hampir setiap orang punya smartphone. Bukankah seharusnya kita bisa lebih efisien dan "hijau" dalam mengadakan pemilihan?
Tapi ya sudahlah, mungkin urusan pemilu yang lebih ramah lingkungan juga masih dianggap terlalu ribet dan mahal.
Kemungkinan Pilkada Hijau? Siap-Siap Sabar Selamanya
Melihat situasi ini, mungkinkah kita bisa berharap pada pilkada atau pilpres yang lebih hijau di masa depan? Mungkin bisa, tapi jangan berharap banyak dalam waktu dekat.
Untuk menjadikan isu lingkungan sebagai prioritas, dibutuhkan perubahan besar dalam pola pikir masyarakat dan sistem pemilu kita. Tidak cuma di tingkat calon kepala daerah, tapi juga di tingkat pemilih dan pemangku kebijakan.
Bayangkan betapa sulitnya meminta para calon untuk mengutamakan visi hijau ketika hal-hal "gratisan" masih jadi jualan utama. Apalagi dengan sistem pemilu yang masih bergantung pada kertas, kita benar-benar masih jauh dari kata "hijau." Jadi buat yang mengharapkan pilkada ramah lingkungan, siap-siap bersabar selamanya.
Lalu Apa Solusinya?
Solusi? Oke, mari berandai-andai sejenak. Pertama, kita perlu lebih banyak edukasi tentang pentingnya menjaga lingkungan, bukan cuma dari sisi pemerintah tapi juga masyarakat luas.
Kita perlu calon pemimpin yang paham bahwa lingkungan bukan sekadar isu pendamping, tapi fondasi dari keberlanjutan hidup kita semua.
Selain itu, modernisasi dalam proses pemilu mutlak diperlukan. Beberapa ide sebenarnya sudah mulai digaungkan, meski belum ada dampaknya.
Banyak orang berharap pemilu Indonesia bisa beralih ke sistem e-voting yang sepenuhnya digital, tanpa perlu kertas. e-Voting memungkinkan kita untuk memilih secara elektronik, jadi nggak perlu lagi repot-repot cetak surat suara.
Namun untuk negara sebesar Indonesia, tantangan e-voting sangat besar. Pertama, soal infrastruktur. Masih banyak daerah di Indonesia yang belum memiliki akses internet yang memadai.
Selain itu, keamanan data pemilih dan sistem e-voting juga harus diperhatikan. Apalagi kasus kebocoran data sering terjadi di Indonesia. Kalau tidak hati-hati, bisa-bisa malah jadi sasaran empuk hacker.
Pilkada Hijau Masih Jadi Mimpi, Tapi Bukan Mustahil
Pada akhirnya, pilkada hijau di Indonesia memang masih jauh dari kenyataan. Selama pemilih lebih tertarik pada tawaran serba gratis dan sistem pemilu kita masih doyan kertas, kita belum akan melihat perubahan signifikan.
Namun bukan berarti kita harus menyerah. Perubahan kecil tetap bisa dilakukan, bahkan jika harus dimulai dari kita sebagai pemilih. Mulailah dengan peduli pada kandidat yang punya visi untuk masa depan yang lebih berkelanjutan.
Jadi apakah pilkada hijau itu cuma mimpi? Mungkin, tapi siapa tahu? Kalau kita semua mulai bergerak dan mengubah cara pandang, mungkin suatu hari kita bisa lihat pemilu yang benar-benar ramah lingkungan. Tapi ingat, harapan besar butuh usaha yang tak kalah besar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H