Mohon tunggu...
Rully Novrianto
Rully Novrianto Mohon Tunggu... Lainnya - A Man (XY) and A Mind Besides Itself

Kunjungi juga blog pribadi saya di www.rullyn.net

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pelajaran Hidup dari Ayah

24 September 2024   12:26 Diperbarui: 24 September 2024   12:37 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kamu tahu, waktu kecil ayah juga sering duduk seperti ini, melihat matahari terbenam," kata ayah sambil menyeruput kopinya perlahan.

Aku menoleh sebentar, mendengarkan, tapi pandanganku segera kembali pada langit yang berubah warna, memercikkan oranye dan ungu di atas horizon.

"Dulu, kakekmu yang duduk di sebelah ayah. Dia selalu bilang hal yang sama, 'Santai saja. Jangan terburu-buru.'"

Aku diam saja. Rasanya tidak perlu menanggapi, apalagi aku tahu, ayah sering berbicara panjang saat matahari tenggelam. Mungkin ini cara dia berbagi nasihat tanpa terdengar menggurui.

Dia terus berbicara, tapi aku hanya mendengar sebagian. Kalimat-kalimatnya bercampur dengan angin yang menyapu lembut. Suaranya jadi latar belakang yang menenangkan.

"Terkadang, ayah merasa kamu terlalu cepat ingin dewasa. Kamu masih muda. Punya banyak waktu. Apa sih yang bikin kamu buru-buru?", lanjutnya.

Aku menarik napas dalam-dalam. "Ayah, kadang aku merasa ada banyak hal yang harus aku kejar. Teman-teman sudah punya cita-cita besar. Aku... aku nggak mau ketinggalan."

Ayah tertawa kecil, suara tawa yang sama sejak aku kecil, renyah dan sedikit berat.

"Itu masalahnya, kamu terlalu banyak membandingkan. Kehidupan orang nggak sama, Nak. Temanmu bisa saja sudah punya rencana besar, tapi siapa yang tahu apakah mereka benar-benar yakin dengan itu?"

Aku berpikir sebentar, merenung apa maksud ayah. Rasanya tidak mudah berhenti membandingkan diri dengan orang lain. Seiring bertambahnya usia, tekanan untuk 'mengejar sesuatu' terasa semakin nyata.

"Mungkin kamu nggak sadar," katanya, kali ini suaranya lebih pelan.

"Dulu ayah juga persis seperti kamu. Penuh ambisi, ingin ini dan itu. Kakekmu sering bilang, 'Hidup jangan buru-buru. Dunia nggak kemana-mana.' Ayah waktu itu nggak terlalu memikirkan omongan kakekmu, tapi sekarang ayah paham. Hidup itu bukan soal siapa yang paling cepat sampai, tapi soal menikmati perjalanan."

Aku tersenyum kecil, mendengarkan kata-kata ayah yang menggema di pikiranku. "Jadi menurut Ayah, aku harus santai aja?"

"Bukan santai tanpa arah. Tapi jangan terlalu terobsesi dengan hasil akhir. Kamu perlu menikmati setiap langkah. Temukan ritme hidupmu sendiri," jelasnya.

Langit semakin gelap. Matahari sudah hampir tenggelam sepenuhnya, meninggalkan jejak-jejak sinar terakhir di atas pegunungan yang jauh. Kami duduk dalam diam sejenak, hanya ditemani suara angin dan burung yang mulai kembali ke sarangnya.

"Ayah dulu pernah menyesal buru-buru?" tanyaku akhirnya, ingin tahu lebih banyak tentang ayah di masa mudanya, sosok yang jarang dia ceritakan.

"Ya, pernah. Ayah pernah merasa harus punya segalanya di usia muda. Tapi ternyata, ada banyak hal yang ayah lewatkan. Waktu yang seharusnya ayah gunakan untuk menikmati hal-hal kecil, ayah abaikan. Sekarang ketika melihat kamu, ayah ingin kamu belajar dari itu," jawabnya dengan tatapan yang jauh.

Aku terdiam. Kata-kata ayah seperti membawa beban yang mendalam. Mungkin benar, aku terlalu fokus pada apa yang belum aku capai, tanpa menghargai apa yang sudah ada di depanku.

"Dengar, kamu masih muda. Jangan merasa harus tahu segalanya sekarang," lanjut ayah sambil menepuk bahuku pelan.

"Cinta, pekerjaan, mimpi... Semua itu akan datang pada waktunya. Tapi kalau kamu terus berlari tanpa berhenti untuk melihat sekeliling, kamu bisa saja kehilangan hal-hal terbaik."

Aku menoleh ke arahnya, dan untuk pertama kalinya malam itu, aku melihat wajah ayah dengan lebih jelas. Kerut di sekitar matanya, rambut yang mulai beruban, tapi tetap ada ketenangan di balik semua itu. Seolah dia sudah melalui badai yang sama, dan sekarang dia berdiri di ujung dengan damai.

"Jadi, apa rencana Ayah besok?" tanyaku sambil mengangkat alis.

Dia tersenyum, memandangku sambil menyeruput kopinya lagi.

"Besok? Ayah cuma mau duduk di sini lagi. Melihat matahari terbenam. Menikmati hidup."

Aku mengangguk, ikut tersenyum. Mungkin itu yang aku butuhkan, bukan jawaban, bukan rencana besar. Tapi momen kecil seperti ini.

Sebuah pengingat bahwa hidup bukan tentang siapa yang tercepat, tapi siapa yang bisa menikmati perjalanan dengan sepenuh hati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun