"Hidup ini lucu, ya?" gumamku pelan, hampir tak terdengar di tengah hujan.Â
Kadang kita berpikir bahwa kita tahu segalanya, bahwa kita bisa mengendalikan arah angin. Tapi kenyataannya, kita hanya penumpang dalam kapal besar ini, tanpa peta dan tanpa kendali.Â
Aku menarik selimut lebih rapat ke tubuhku, mencoba menenangkan diri, tapi air mata justru mulai menetes. Ini bukan tentang kesedihan yang mendalam, tapi lebih seperti rasa kehilangan yang perlahan-lahan menggerogoti.
Sebuah pesan masuk di ponselku, tapi aku tak ingin melihatnya. Biarlah dunia di luar sana berjalan tanpa aku malam ini. Aku hanya ingin duduk di sini, di tengah hujan dan air mataku sendiri, tanpa gangguan.Â
Kadang kita hanya butuh momen seperti ini, momen di mana kita bisa berhenti sejenak, membiarkan perasaan datang dan pergi seperti arus air.
Angin bertiup lebih kencang, membawa hawa dingin yang menggigit kulitku, tapi aku tetap tak bergerak dari kursi ini. Ada sesuatu yang menenangkan dalam kesendirian malam ini. Mungkin karena untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku bisa benar-benar jujur pada diriku sendiri. Tanpa harus berpura-pura kuat. Tanpa harus tersenyum untuk meyakinkan orang lain bahwa aku baik-baik saja.
Suara hujan semakin deras, dan aku menundukkan kepala, memejamkan mata. Air mata mengalir lebih deras sekarang. Anehnya, aku merasa sedikit lebih ringan. Seperti ada beban yang perlahan-lahan terangkat dari bahuku. Mungkin inilah yang dibutuhkan. Sebuah momen kecil di tengah hujan, sebuah air mata sebelum akhirnya semuanya berlalu.
Hujan masih turun, tapi hatiku mulai tenang. Kucing di sampingku meluruskan tubuhnya, seolah merasakan perubahan dalam diriku. Aku tersenyum kecil dan menatap langit yang kelabu.Â
Mungkin hujan tidak selalu tentang kesedihan. Mungkin kadang-kadang hujan datang untuk membersihkan, untuk memberi kita kesempatan memulai lagi dari awal.
"Aku akan baik-baik saja," kataku, meski tak ada yang mendengar.Â
Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku benar-benar mempercayainya.