Akhir-akhir ini boneka Labubu lagi jadi primadona, terutama di kalangan kolektor. Bukan cuma di media sosial, tapi di dunia nyata juga.
Coba deh lihat antrean yang sampai mengular di mal Gandaria City beberapa hari lalu. Orang-orang rela menunggu berjam-jam dari subuh hanya demi bisa bawa pulang Labubu yang dijual di gerai Pop Mart. Tak sedikit pula yang kecewa karena kehabisan stok.Â
Nah, yang bikin saya heran adalah kenapa banyak orang rela antre panjang demi boneka yang kemungkinan besar sebentar lagi bakal lebih banyak dijual di mana-mana? Apa ini cuma sekadar FOMO (Fear of Missing Out) atau ada validasi sosial yang sedang mereka cari?
Kenapa Labubu Tiba-Tiba Hype?
Popularitas boneka Labubu tidak bisa dipisahkan dari Lisa Blackpink. Jadi ceritanya, Lisa sempat mengunggah foto dirinya dengan Labubu di akun Instagram-nya. Dari situ, tiba-tiba semua orang jadi pengen punya boneka ini.
Padahal karakter Labubu sebenarnya sudah ada sejak 2015, lho. Kasing Lung adalah otak di balik karakter unik ini yang terinspirasi dari monster dalam mitologi Nordic.
Jadi apakah Labubu viral karena karya seni yang memang keren atau hanya karena dipopulerkan oleh Lisa? Â Kayaknya sih lebih ke efek Lisa, ya. Saya tidak bilang bonekanya jelek, tapi kok rasanya popularitasnya naik secara instan setelah foto itu muncul.
Harganya kok Bisa Mahal?
Kalo ngomongin harganya, boneka Labubu dijual di kisaran Rp300 ribu sampai Rp1,5 juta di Pop Mart. Lumayan, kan? Bagi para kolektor, harga segitu mungkin masuk akal. Tapi bagi  yang cuma ingin punya buat seru-seruan, harus dipikir-pikir juga. Apalagi, kalau cuma mau ikutan tren doang.
Yang bikin penasaran, apakah boneka ini memang sepadan dengan harganya atau harga ini naik drastis gara-gara FOMO? Soalnya banyak barang yang tiba-tiba jadi mahal cuma karena orang berlomba-lomba beli tanpa memikirkan apakah itu benar-benar layak dimiliki atau tidak.
Apa sih yang Kamu Kejar?
Saya jadi mikir, apa sih yang sebenarnya dikejar sama orang-orang yang rela antre berjam-jam? Rasanya ini lebih karena takut ketinggalan tren, bukan karena mereka benar-benar menginginkan Labubu.
Dalam dunia yang serba cepat ini, banyak orang merasa harus ikut dalam setiap tren biar dianggap "up to date." Padahal kalau dipikir-pikir, barang ini juga bakal ada lagi di pasaran dengan jumlah lebih banyak. Jadi kenapa harus segitu ngototnya?