Jika kita bicara soal hiburan, setiap daerah pasti punya ciri khasnya masing-masing. Di Jawa Timur, ada fenomena yang cukup unik dan menarik perhatian, yaitu "sound horeg".
Sound horeg ini adalah istilah yang merujuk pada sistem audio dengan tumpukan speaker yang ditaruh di atas truk. Suaranya menggelegar, biasanya digunakan dalam acara-acara di daerah Jawa Timur. Â Ternyata masyarakat sana begitu menikmati dan menghibur diri dengan dentuman-dentuman keras ini.
Lanjutkan Saja, Lestarikan Budaya Horeg!
Kalau memang sound horeg bisa membawa kebahagiaan bagi masyarakat Jawa Timur, siapa yang berani melarang?Â
Mungkin bagi sebagian orang suara bising ini bisa bikin kepala pusing, telinga jadi budeg sementara, kaca pecah, dan genteng berjatuhan.
Tapi untuk masyarakat di sana, ini adalah hiburan. Bukan hanya sekadar mengisi waktu, tapi juga bagian dari identitas mereka.
Jadi kalau saya boleh berpendapat, ya lanjutkan saja! Lestarikan! Tidak banyak budaya lokal yang masih hidup dan eksis di tengah serbuan modernisasi. Sound horeg bisa jadi salah satu bentuk ekspresi yang masih bertahan.
Saat ada acara, dari pesta pernikahan hingga acara desa, suara sound horeg menjadi tanda dimulainya kemeriahan. Getaran bass yang menggetarkan kaca jendela, suara treble yang memekakkan telinga, semua itu justru menjadi bagian tak terpisahkan dari suasana.
Kita harus mengakui, ada semacam kebanggaan lokal dalam memelihara tradisi ini. Siapa tahu mungkin suatu saat sound horeg ini bakal mendunia!
Jakarta? Untung Saja Selamat dari Horeg!
Namun kalau saya boleh jujur, saya sangat bersyukur, bahkan mungkin lebih dari sekadar bersyukur bahwa sound horeg ini tidak ada di Jakarta.
Kenapa? Bisa dibayangkan jika di tengah kemacetan jalan mantan ibu kota, saya masih harus menghadapi deru sound horeg yang memekakkan telinga. Jakarta dengan segala kepadatannya sudah cukup "horeg" dengan caranya sendiri, tanpa perlu tambahan hiburan semacam itu.
Saat jam sibuk, suara klakson yang bersahut-sahutan di jalan ditambah lagi dengan dentuman sound horeg? Mungkin saya akan mengemasi koper dan pindah ke lereng gunung yang tenang.
Jadi, saya ingin berterima kasih ke warga Jawa Timur karena telah menjaga sound horeg di wilayah kalian. Biarkan kami yang di Jakarta, atau daerah lain, menikmati ketenangan (atau setidaknya ketenangan dari tidak adanya sound horeg).
Sebuah Refleksi Sosial
Tapi mari kita sedikit lebih serius. Sound horeg ini bukan hanya soal suara keras yang menggema. Ini adalah refleksi sosial. Ada pesan di balik hiruk-pikuk itu.
Masyarakat Jawa Timur, dengan semangat guyub dan kekompakannya, menggunakan sound horeg sebagai medium untuk berkumpul, merayakan, dan merajut kebersamaan.
Di sinilah bedanya dengan Jakarta, di mana semuanya bergerak cepat, individualisme menguat, dan kadang kita lupa bahwa kita masih bagian dari komunitas yang lebih besar.
Meskipun sound horeg dianggap mengganggu bagi sebagian orang, ini adalah suara dari sebuah budaya yang masih hidup dan kuat. Ia adalah simbol dari semangat kebersamaan, dimana orang-orang bisa berkumpul tanpa peduli latar belakang, hanya untuk menikmati musik dan getaran yang menembus jiwa.
Mari Kita Hormati Perbedaan
Pada akhirnya, kita harus menghormati perbedaan. Apa yang mungkin terdengar mengganggu di satu tempat, bisa menjadi sumber kebahagiaan di tempat lain.
Bagi saya yang tinggal di Jakarta, mungkin sound horeg adalah sesuatu yang tak terbayangkan untuk diterapkan di sini. Tapi di Jawa Timur, ini adalah bagian dari hidup mereka, bagian dari budaya yang mereka cintai.
Jadi, jika sound horeg memang menghibur masyarakat di sana, bagus! Lanjutkan dan lestarikan. Saya hanya bisa mengucap syukur bahwa sound horeg tidak ada di Jakarta.
Toh, setiap daerah punya caranya masing-masing untuk merayakan hidup. Bukankah itu yang membuat Indonesia begitu kaya dan beragam?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H