Paramount Pictures baru saja merilis trailer film "Gladiator II" di YouTube. Rencananya film ini akan tayang pada November 2024. Seperti film pertamanya, "Gladiator II" tetap disutradai oleh Ridley Scott. Sementara bintangnya adalah Paul Mescal, Pedro Pascal, Denzel Washington, Connie Nielsen, Joseph Quinn, dan Fred Hechinger.
Tapi belum dirilis saja film ini sudah menuai ragam kritikan negatif. Kritikan terbesarnya adalah kenapa mereka perlu menodai kesempurnaan film "Gladiator" yang dirilis pada 2000 dengan sebuah sekuel?
Sebuah Kisah yang Sudah Lengkap
"Gladiator" adalah lebih dari sekadar sebuah film epik. Ia adalah sebuah karya seni yang sempurna, sebuah puncak pencapaian sinematografi, akting, dan penyutradaraan.
Dengan latar belakang Roma Kuno yang megah, film ini menyajikan kisah tragis tentang seorang jenderal yang berubah menjadi seorang gladiator, Maximus Decimus Meridius.
"Gladiator" adalah sebuah kisah yang memiliki awal, tengah, dan akhir yang sempurna. Maximus, setelah melalui penderitaan yang luar biasa, mencapai penebusan dan kemerdekaan dalam kematian.
Ini adalah sebuah akhir yang begitu kuat, begitu memuaskan, hingga rasanya tidak ada ruang lagi untuk cerita lanjutan. Sekuel akan terasa seperti memaksa sebuah cerita yang sudah selesai untuk terus berjalan, hanya demi meraup keuntungan finansial.
Rusaknya Estetika dan Semangat Asli
Salah satu kekuatan terbesar "Gladiator" adalah atmosfernya yang gelap, brutal, namun penuh dengan keindahan. Ini adalah dunia yang penuh kontradiksi, di mana kekejaman berdampingan dengan keagungan.
Sekuel berpotensi merusak estetika visual yang telah dibangun dengan begitu hati-hati. Selain itu, semangat pemberontakan dan pencarian keadilan yang menjadi jiwa film pertama mungkin akan hilang dalam upaya untuk menciptakan konflik baru.
Salah satu bentuk rusaknya estetika itu adalah dengan soundtrack berupa musik rap di trailer "Gladiator II". Saya tidak bilang musik rap itu jelek, tapi jika dipasangkan dengan film epik seperti "Gladiator II" jadinya tidak nyambung. Karena salah satu kekuatan dan daya tarik dari film "Gladiator" adalah musiknya, yang dikerjakan oleh komposer Hans Zimmer.
Risiko Kecewa
"Gladiator" adalah sebuah standar emas dalam genre film epik. Sekuelnya akan berada di bawah tekanan besar untuk menyamai atau bahkan melampaui pendahulunya. Risiko kekecewaan sangat tinggi. Jika sekuelnya gagal memenuhi ekspektasi, hal ini bisa merusak warisan "Gladiator" yang telah dibangun selama bertahun-tahun.
Fokus pada Proyek Baru
Daripada membuat "Gladiator II", para pembuat film lebih baik fokus pada proyek-proyek baru yang segar. Industri film penuh dengan cerita-cerita menarik yang belum tergali. Mencoba mengejar nostalgia dengan sekuel mungkin akan menghambat kreativitas dan inovasi.
Atau bisa juga dengan me-remake film-film lawas yang kurang bagus. Siapa tahu setelah diberi sentuhan modern, yang dulunya jelek bisa jadi bagus.
Misalnya film "Ocean's Eleven" yang versi aslinya dirilis pada 1960 dan dinilai membosankan dan alurnya lambat. Namun versi remake-nya yang dirilis pada 2001, dinilai lebih menarik, tidak membosankan, dan alurnya cepat serta menyenangkan dengan sentuhan komedi yang apik.
Tak Perlu Sekuel
"Gladiator" adalah sebuah karya seni yang berdiri sendiri, sempurna dalam segala aspeknya. Mencoba menambahkan bab baru pada kisah ini adalah tindakan yang berani, namun berisiko.
Mungkin, yang terbaik adalah membiarkan "Gladiator" tetap menjadi sebuah legenda yang tidak perlu dijelaskan lebih lanjut.
Apakah kamu setuju bahwa "Gladiator" tidak perlu sekuel?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H