Di Indonesia, kita semua pasti pernah melihat fenomena ini. Ada kasus hukum yang sebelum kasusnya menjadi viral semuanya adem ayem seperti tidak ditangani. Tapi begitu di-posting di media sosial dan menjadi ramai, langsung disikapi, ditanggapi, dan ditangani. Seakan-akan viral adalah supremasi hukum tertinggi di Indonesia.
Viral jadi jimat pemanggil keadilan
Mari kita ngobrol santai. Idealnya, hukum itu berjalan adil dan tegas, tidak perlu menunggu viral dulu. Bayangkan, berapa banyak kasus yang tenggelam gara-gara tidak viral? Korbannya gigit jari, pelakunya jalan-jalan santai. Nggak adil banget, kan?
Kenapa media sosial menjadi layaknya sebuah jimat pemanggil keadilan? Ada beberapa kemungkinan. Pertama, tekanan netizen. Coba deh liat komentar di media sosial soal kasus hukum. Netizen bisa super vokal, sampai bisa menjadi trending topic. Para petinggi yang baper dengan opini publik jadi bergerak cepat. Mungkin malu kali ya dicap lamban atau nggak becus kerja.
Kedua, efektivitas media sosial. Informasi di media sosial bisa menyebar secepat kilat. Bandingkan dengan mengadu ke pengadilan yang prosedurnya bisa panjang kayak sedang antre makanan yang sedang viral. Lewat media sosial, cerita korban bisa langsung didengar banyak orang. Jadi wajar saja kalau para penegak hukum jadi lebih peka dengan kasus viral.
Kurangnya kepercayaan terhadap sistem hukum
Selain faktor di atas, ada satu hal lagi yang patut dipertimbangkan. Â Yaitu kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum. Â Jadi tidak heran kalau masyarakat jadi skeptis dan mencari jalan pintas keadilan di media sosial.
Dampaknya viral jadi dianggap sebagai jalan pintas. Korban yang selama ini merasa buntu di jalur hukum resmi, mencari harapan di dunia maya. Harapan agar suaranya didengar, kasusnya diproses, dan pelakunya dihukum. Fenomena viral ini memang sering kali membuahkan hasil. Para penegak hukum yang tadinya adem ayem, Â mendadak sigap menangani kasus.
Tidak semua yang viral pasti benar
Tapi ada sisi gelapnya juga, lho. Tidak semua yang viral itu pasti benar. Keadilan yang diperoleh lewat viral belum tentu keadilan yang sesungguhnya. Bisa jadi kasus yang viral akan ditangani secara buru-buru demi meredam kemarahan publik, bukan berdasarkan penyelidikan yang teliti dan obyektif.
Nanti ujung-ujungnya malah  muncul kekeliruan dan ketidakadilan baru. Jadi bahaya kan kalau penegak hukum langsung main tangkap berdasarkan informasi yang belum jelas.
Lagi pula, keadilan yang sesungguhnya harusnya berdasarkan bukti, bukan berdasarkan jumlah view, like, share atau retweet. Jangan sampai nanti pihak yang menjadi korban sungkan melapor ke pihak berwenang karena takut kasusnya tidak viral. Malah runyam kan?
Peran kita semua
Jadi, bagaimana solusinya? Kita semua punya peran. Pertama, penegak hukum harus berbenah. Tingkatkan kinerja, percepat proses hukum, dan pastikan transparansi. Jangan sampai masyarakat percaya bahwa kasus harus viral dulu agar cepat ditangani.