Like dan pujian pun berdatangan, membuat sang pelaku setting-an merasa menjadi pemenang karena berhasil "menipu" sistem.
Parahnya, drama donasi setting-an ini tidak hanya merugikan penonton yang tertipu. Dampak yang lebih luas adalah rusaknya nilai-nilai donasi itu sendiri. Donasi seharusnya dilandasi oleh ketulusan dan empati, bukan semata-mata untuk pencitraan.
Ketika donasi dijadikan alat untuk meraup keuntungan pribadi, seperti like dan popularitas, maka makna berbagi menjadi kabur. Orang yang membutuhkan bantuan pun jadi ragu-ragu untuk menerima uluran tangan. Mereka khawatir menjadi korban setting-an belaka.
Cara menanggapi konten seperti ini
Lalu, bagaimana cara kita sebagai penonton menanggapi fenomena ini? Pertama, penting untuk memupuk sikap kritis terhadap konten donasi di media sosial. Jangan mudah terlena dengan caption bombastis atau nominal yang besar.
Cobalah untuk mencari tahu rekam jejak si pemberi donasi. Apakah mereka memang dikenal sebagai sosok dermawan atau adakah kejanggalan dalam video atau foto yang diunggah?
Selain itu, kita bisa memberikan dukungan kepada influencer atau lembaga yang memang kredibel dalam menyalurkan donasi. Biasanya, mereka akan menampilkan bukti transfer atau laporan penggunaan dana secara transparan.
Dengan bersikap kritis dan mendukung lembaga yang terpercaya, kita sebagai pengguna Instagram turut berperan dalam menghentikan drama donasi setting-an.
Ingatlah, donasi yang sejati bukanlah ajang pamer, melainkan bentuk kepedulian kita terhadap sesama. Like dan popularitas di media sosial bersifat semu, namun kebaikan yang kita tebar akan memberikan dampak yang nyata.
Mari wujudkan ruang digital yang lebih positif dengan menghargai esensi donasi yang sesungguhnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H