Ini dia musim pulang kampung alias mudik. Musim di mana jalanan macet luar biasa, harga tiket melambung tinggi, dan para perantau bersiap diri untuk reuni akbar dengan sanak saudara.
Tapi tahun ini sedikit berbeda. Ada yang spesial. Tobi baru saja meminang satu unit mobil baru. Bukan Alphard terbaru, tapi setidaknya bukan Kijang kotak butut warisan kakek lagi.
Jadi, dengan penuh semangat dan dompet yang agak tipis (uang muka mobil belum lunas sih, tapi gengsi diutamakan), Tobi mengumumkan rencana brilian ini ke istrinya.
"Wah, akhirnya tiba juga waktunya mudik! Tapi tahun ini mudiknya beda lho, Sayang," kata Tobi ke istrinya.
Pulang kampung naik mobil baru. Pastinya akan menjadi pusat perhatian. Bayangkan tatapan iri tetangga yang selama ini nyinyir soal mobil tuanya. Para keponakan pasti akan berebut duduk di jok paling nyaman. Ibu pun mungkin akan bangga, meski dalam hati pasti ada gumaman, "Duh, cicilannya gimana, Nak?"
Oh, betapa indahnya berangan-angan. Mari kita lupakan sejenak realita perjalanan mudik yang melelahkan. Fokus pada betapa "wah"-nya kedatangannya nanti.
Persiapan nan Melelahkan (dan Mahal)
Pertama, tentu saja mobil baru perlu di-"bling-bling"-in sedikit. Stiker dengan nama masing-masing anggota keluarga di jendela belakang? Wajib! Kaca film terbaru yang gelapnya bisa bikin penasaran tetangga sebelah? Pasti! Jangan lupa system audio yang suaranya bisa bikin orang tua jantungan.
"Ini semua demi menciptakan kesan 'wah' yang maksimal," kata Tobi pada dirinya sendiri.
Mobil baru memang bagasinya lega, tapi bukan berarti bisa jadi gudang mini, ya. Apalagi kalau mudiknya bawa rombongan. Mau tak mau, harus pinter-pinter packing. Baju Lebaran sekeluarga dan oleh-oleh dari kota, semuanya harus dimuat.
Dan di sinilah letak ironinya. Mobil baru yang katanya lega, ujung-ujungnya penuh sesak dengan barang bawaan. Alhasil, kenyamanan yang dibayangkan tadi pun sirna.