Saat Pemilu, lazimnya banyak selebriti dan artis tanah air yang mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif (caleg) DPR maupun DPRD. Tentu dengan harapan bisa menjadi wakil rakyat berkat status keartisannya.
Namun tidak semua artis yang maju ke pesta demokrasi otomatis lolos menjadi anggota dewan. Nyatanya masih banyak faktor lain di luar popularitas yang menentukan elektabilitas seorang caleg artis.
Secara garis besar, modal dasar para caleg artis dalam Pemilu ada dua, yakni popularitas dan mesin politik. Popularitas sudah pasti mereka miliki berkat karir di dunia hiburan tanah air.
Namun, popularitas belum cukup menjamin lolos ke Senayan jika tidak ditopang mesin politik solid dari partai pengusung. Di sinilah letak ujian sejati bagi caleg artis.
Rata-rata caleg artis yang berhasil menduduki kursi dewan adalah mereka yang bisa mengkonversi popularitas menjadi elektabilitas. Artinya, selain dikenal publik mereka juga mau susah payah turun ke daerah pemilihan, bertemu konstituen, dan berkampanye secara maksimal.
Jadi jangan berpikir hanya karena sudah dikenal banyak orang, caleg artis dengan sendirinya sudah dipastikan menang. Masih banyak kan contoh artis populer yang harus gigit jari karena kalah dari caleg non-selebriti?
Selain itu, caleg artis yang berstatus incumbent atau pernah menjabat sebelumnya cenderung punya peluang lebih tinggi terpilih kembali. Ini karena selama menjabat mereka dinilai masyarakat punya kinerja baik, sehingga layak dipercaya lagi.
Jadi untuk meraih kursi dewan, caleg artis tidak cukup modal popularitas belaka. Diperlukan kerja ekstra keras, dukungan partai, dan rekam jejak mumpuni agar bisa menjadi wakil rakyat di Senayan. Dengan begitu, kehadiran selebriti di parlemen bukan sekedar pajangan, tapi bisa memberi manfaat bagi rakyat.
Apakah Politik Sudah Menjadi Industri Hiburan?
Namun, fenomena artis dalam politik juga menimbulkan pertanyaan tentang makna politik itu sendiri. Apakah politik sekarang telah menjadi bagian dari industri hiburan?
Sebagian menilai kehadiran para figur publik ini dapat membawa angin segar dan mewakili suara kaum milenial di parlemen. Sebagian lainnya justru skeptis dan menganggap para selebriti cuma memanfaatkan popularitas tanpa kapasitas yang memadai.
Menjamurnya fenomena artis jadi caleg ini sesungguhnya mengindikasikan bahwa kini politik praktis sudah menjadi bagian dari industri hiburan. Partai-partai politik pun kini tak segan menggandeng artis dan selebriti demi meraih suara pemilih muda yang haus hiburan.
Pertanyaannya, apakah menghibur konstituen dengan menghadirkan figur publik di parlemen merupakan strategi yang tepat? Atau justru hal ini hanya akan menciutkan makna politik yang sesungguhnya tentang memperjuangkan kepentingan rakyat?
Di satu sisi, dukungan artis bisa membuat partai terlihat lebih friendly dan dekat dengan anak muda. Apalagi jika artis tersebut memang punya kapasitas dan kemauan untuk bekerja keras mewakili suara rakyat di parlemen.
Namun di sisi lain, membanjiri parlemen dengan artis juga berisiko membuat politik sekadar seperti dunia entertainment yang dipenuhi selebriti. Ini tentu akan menggerus makna politik sebagai jalur perjuangan memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara.
Lantas apa solusinya? Tentu saja keseimbangan dan moderasi. Artis boleh saja berperan di dunia politik selama mereka punya kapasitas dan kemauan memperjuangkan aspirasi rakyat. Selebihnya, figur politisi profesional tetap diperlukan demi menjaga khitah perjuangan politik yang sesungguhnya.
Dengan begitu politik tidak sekadar soal hiburan semata, tapi tetap bisa fokus memperbaiki kehidupan masyarakat Indonesia agar lebih sejahtera.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H