Dikutip dari Kompas.com (23/11/2023), TransJakarta menargetkan pengoperasian 100 bus listrik pada akhir 2023. Dengan semakin banyaknya bus listrik, tentu menjadi sebuah angin segar di tengah masalah polusi berat yang dihadapi oleh Jakarta.
Namun sebagai seorang penumpang bus TransJakarta, jika naik bus listrik justru menambah ongkos yang harus saya keluarkan. Kok bisa?
Hal ini saya alami ketika naik TransJakarta 4B dengan rute Universitas Indonesia -- Stasiun Manggarai. Saya bermaksud turun di halte Terminal Manggarai yang berada di depan Pasaraya karena mau ganti bus yang ke arah Pramuka.
Bus listrik 4B yang saya tumpangi ini melewati halte Terminal Manggarai, tapi tidak berhenti dikarenakan busnya memiliki dek pintu rendah. Sementara halte Terminal Manggarai adalah halte untuk dek tinggi.
Akhirnya saya harus turun di halte Timur Stasiun Manggarai, pindah ke halte Plaza Stasiun Mangarai, nge-tap kartu lagi, dan ganti bus dengan dek tinggi untuk balik ke halte Terminal Manggarai. Keluar duit lagi deh.
Kejadian serupa juga terjadi pada bus TransJakarta B11 dengan rute Summarecon Bekasi -- Cawang BNN. Saya bermaksud turun di halte Cawang BNN untuk lanjut ke Senayan.
Tapi karena halte Cawang BNN itu halte untuk dek tinggi, dan bus B11 adalah bus listrik dek rendah, penumpang jadinya diturunkan di luar halte. Untuk lanjut ke Senayan, ya harus masuk ke halte dan nge-tap lagi alias bayar lagi.
Di sini saya melihat adanya masalah yang dihadapi oleh penumpang. Jika nanti bus listrik dengan dek rendah itu semakin banyak, otomatis penumpang pasti tidak bisa turun di halte dengan dek tinggi. Sementara kebanyakan halte TransJakarta adalah dek tinggi. Termasuk halte-halte yang baru saja direvitalisasi.
Apakah halte-halte itu harus direvitalisasi lagi demi mengakomodir bus dek rendah? Atau mungkin pihak TransJakarta harus mencari bus listrik dengan dek tinggi?
Padahal tahun lalu, seperti dikutip dari Kompas.com (10/07/2023), karoseri Laksana sudah punya eCityline, bus listrik dek tinggi dan sudah sempat dites di Jakarta. Tapi entah kenapa saya tidak pernah melihat bus ini beroperasi di jalan raya. Atau saya yang tidak lihat?
Apa pun nanti solusinya, saya sebagai pengguna TransJakarta sangat berharap agar pengelola TransJakarta memikirkan masalah ini. Sebab integrasi adalah kata kunci yang selalu digaungkan oleh TransJakarta. Jika TransJakarta sudah bisa berintegrasi dengan moda transportasi lain seperti MRT dan LRT, masa sesama busnya sendiri tidak bisa?
Selain itu juga agar lebih memudahkan penumpang yang tidak familiar dengan rute TransJakarta. Jujur saja, saya sebagai pengguna reguler TransJakarta pun kadang masih kecele jika harus menempuh sebuah rute yang belum pernah saya coba sebelumnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H