Bermain medsos bagi orang paruh baya bisa menjadi cara yang menyenangkan dan bermanfaat untuk mengisi waktu luang, berinteraksi dengan orang lain, dan belajar hal-hal baru. Tapi TikTok dan Twitter adalah dua media sosial yang paling saya tidak suka sebagai orang di usia paruh baya. Kenapa? Karena isinya yang tidak relevan buat saya.
TikTok
Saya tidak mengerti apa yang menarik dari menonton video pendek orang-orang yang menari, menyanyi, atau melakukan hal-hal konyol. Saya menganggap, TikTok adalah tempatnya orang-orang yang berusaha meniru gerakan-gerakan aneh yang tidak ada artinya. Setiap melihat sebuah video di medsos, secantik atau seseksi apa pun wanita di video tersebut, tapi kalau sudah joget-joget pasti akan saya skip videonya.
TikTok juga adalah tempatnya orang-orang yang suka gosip dan menjelek-jelekkan orang lain tanpa bukti. Pasti kamu sering lihat video di TikTok yang menyudutkan orang lain tanpa memberikan narasi yang jelas, tanpa menjelaskan duduk perkaranya. Misalnya, "Hati-hati kalau bertemu dengan orang ini." Tapi tanpa memberitahu kenapa dan apa sebabnya.
TikTok juga penuh dengan video-video yang tidak bermanfaat, seperti prank, tantangan bodoh, atau tutorial make up yang berlebihan.
Makanya saya tidak meng-install aplikasi ini di smartphone saya. Seandainya terpaksa harus membuka TikTok, saya akan melakukannya lewat browser.
Saya juga tidak mengerti apa yang menarik dari membaca tweet-tweet pendek orang-orang yang mengeluh, berdebat, atau menyindir. Bahkan saya pernah melihat sebuah komunitas di Twitter yang isinya hanya sumpah serapah saja. Tidak ada sesuatu yang positif yang bisa diambil dari situ.
Belum lagi soal penggunaan tagar yang banyak dicemari oleh topik atau posting yang nggak nyambung. Coba saja kamu klik salah satu trending topic, pasti akan ditemui banyak posting yang tidak sesuai dengan tagarnya. Entah itu orang jualan produk, atau orang yang menjual diri.
Nah soal jual diri ini juga bikin risih. Tiap malam Jumat jika kamu buka Twitter pasti soal ini akan jadi trending topic. Twitter seakan-akan menjadi katalog pekerja seks yang bisa diakses oleh publik.
Makanya ketika buka Twitter, saya paling hanya membukanya 2-3 menit saja lalu ditutup.
Lebih memilih Facebook
Saya lebih suka media sosial yang lebih santai, seperti Facebook dan kadang Instagram. Walaupun Instagram saat ini sudah mulai mengarah seperti TikTok. Di sana saya bisa melihat foto-foto keluarga dan teman-teman, membaca berita-berita terkini, dan melihat update terbaru dari band yang saya ikuti.
Mungkin benar kata anak-anak Gen Z itu, "Facebook isinya kebanyakan orang tua."
Saya tahu, mungkin saya terdengar seperti orang tua yang tidak mau mengikuti perkembangan zaman. Tapi saya merasa media sosial sekarang sudah terlalu berlebihan. Mereka tidak lagi menjadi sarana untuk bersosialisasi atau berbagi informasi. Mereka menjadi sarana untuk menunjukkan diri, mencari perhatian, atau bahkan menyebarkan kebencian. Saya tidak mau terlibat dalam hal-hal seperti itu. Saya lebih suka hidup tenang dan damai.
Saya tidak bermaksud menghakimi orang-orang yang suka menggunakan TikTok atau Twitter. Mungkin mereka punya alasan tersendiri. Mungkin mereka merasa senang, terhibur, atau terinspirasi dengan media sosial itu. Ya silakan saja.
Saya hanya ingin mengatakan bahwa saya tidak cocok dengan kedua media sosial itu. Saya lebih cocok dengan media sosial yang lebih sesuai dengan usia dan selera saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H