Kurang seminggu yang lalu, kita mungkin masih ingat mengenai EFEK KEJUT yang terlontar dari Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan saat memaparkan kebijakan beliau mengenai pembatasan operasional Transportasi Publik dalam menyikapi penyebaran virus COVID-19 (baca disini).Â
Dimana hari Senin 16 Maret 2019 terjadi antrean sangat panjang (kalau boleh dibilang tumpukan penumpang) di banyak Halte Transjakarta, Stasiun MRT - LRT, serta Stasiun Commuter Line akibat pengurangan dan pengaturan termin kedatangan moda transportasi umum yang biasa beroperasi di Jakarta.Â
Kondisi yang jika negara lain justru memberlakukan "social distance" antar warganya, saat itu justru terjadi desak-desakan bahkan di beberapa tempat terjadi rebutan saat warga akan menaiki moda transportasi yang mereka tunggu kedatangannya. Tidak ayal, banyak warga yang biasanya memakan waktu 1-2 jam dari rumah ke lokasi mereka bekerja, hari itu praktis waktu yang dibutuhkan membengkak menjadi 4-5 jam terhitung mereka ikut dalam antrean panjang yang mengular, dan menunggu bus/gerbong yang menjadi 20-30 menit per kedatangan.
Walau sebelumnya di beberapa sekolah internasional dan kampus sudah dilakukan hal yang sama, namun pengumuman resmi beberapa pemerintah daerah soal libur tadi sepertinya menegaskan virus corona sebagai ancaman luar biasa yang harus segera ditanggapi dengan "mengurung" diri agar tidak berinteraksi dengan sesama - bahkan di lingkungan sekolah yang merupakan institusi "suci" untuk menuntut ilmu dan mengembangkan diri.
====
"Keterkejutan" warga kita sebenarnya sudah terjadi sejak akhir Januari lalu, saat di banyak grup WhatsApp menyebar video tentang warga Wuhan-Tiongkok yang tiba-tiba jatuh bergelimpangan di pusat-pusat keramaian kota. Video yang berdurasi kurang dari 5 menit tadi menggambarkan bagaimana sebaran virus tadi berdampak pada keseharian hidup manusia, aktifitas melambat, jalan lemas sempoyongan lalu  JATUH bahkan MATI MENDADAK ! begitu tanggapan awal saat melihat video tadi.Â
Walau kemudian, beredar berita dan fakta-fakta lain seputar kejadian tadi; yang menurut informasi kejadian tersebut benar adanya, namun orang-orang tadi bukanlah mati mendadak, namun masih dibawa ke Rumah Sakit untuk mendapatkan perawatan intensif untuk proses penyembuhan.
Saat itulah, masyarakat kita sibuk melakukan "silent buying" atas banyak masker dan media pembersih; akibatnya mulai memasuki bulan Februari dimana virus Corona mulai memakan korban jiwa dan menyebar ke banyak negara - terutama di Malaysia dan Singapura sebagai negara terdekat dengan Indonesia, "panic buying" atas masker dan alat kebersihan yang stoknya sudah menipis di pasaran mulai menjadi-jadi. Harga jual masker yang biasanya hanya 1000 rpiah per buah (bahkan dibagikan gratis sebagai fasilitas menggunakan jasa ojek online), harganya naik hampir 10x lipat. Selain itu, banyak pula terjadi pembelian besar atas obat atau vitamin, serta bahan makanan sehari-hari untuk disimpan sebagai persediaan seandainya terjadi larangan keluar rumah (baca disini).
Ketika Februari berlalu dan mendekati pertengahan Maret inilah, justru di beberapa wilayah mulai ditemukan beberapa pasien suspect Corona yang diantaranya merupakan warga Indonesia, bukan lagi turis asing ataupun pekerja yang merupakan pendatang yang baru saja bepergian dari luar negeri. Saat itulah kesadaran bahwa virus ini sudah ada ditengah masyarakat kita mulai muncul.