Di Home Schooling, kapasitas orang tua sangat dominan dalam membentuk karakter dan penguasaan keilmuan. Disini Orang Tua harus sangat aktif dalam menyampaikan materi pelajaran. Tidak heran, jika banyak orang tua yang "merumahkan" anaknya terlihat sangat aktif dan kreatif. Berbagai materi keilmuan disampaikan kepada anak sebagai siswa dengan berbagai macam cara dan tentunya diminati anak. Membawa anak ke museum, jalan-jalan ke berbagai tempat, mengunjungi kantor pemerintahan, rumah-rumah ibadah berbgaai agama, semata-mata untuk proses pengenalan dan pembelajaran. Belum lagi eksplorasi internet sebagai salah satu sumber utama bahan ajar.Â
Hal yang dilakukan kemudian adalah "meremote" tugas dan test. Setelah meracik materi yang akan disampaikan, sang orang tua yang berperan sebagai guru tadi memberikan tugas-tugas dan test selama mereka pergi bekerja atau melakukan kegiatan lain di luar rumah. Bentuknya bisa berupa bahan/ materi yang mereka rekam sendiri lewat foto/ video, atau mengambil sample kasus dari website atau youtube, untuk kemudian dibahas/ dijadikan tugas/ test tadi.Â
Yang hasilnya berupa penilai/ catatan perkembangan siswa. Home Schooling sendiri biasanya memiliki komunitas khusus, jadi memang lebih banyak siswa diajar menurut kurikulum yang sudah mereka padukan antara kurikulum nasional (untuk keperluan sertifikat kesetaraan) dengan kurikulum internasional dari negara lain, yang penerapannya selalu up to date mengikuti perkembangan bahkan keseharian lingkungan sekitar.
====
Terlepas dari itu... Jujur saja, tulisan ini saya buat adalah untuk memberi masukan atau sekedar mengajak kembali merenungkan tentang hakikat yang sedang kita hadapi saat ini, dalam kaitannya dengan dunia pendidikan. Â Kebetulan saya pribadi adalah dosen freelance/ tidak tetap, seorang pendidik yang juga mempunyai tanggung jawab yang sama atas peserta didik di mata kuliah yang saya ampu. serta seorang ayah yang memiliki 4 anak kecil yang masih mengenyam pendidikan dasar di sekolah formal.
Hal atas kejadian kali ini, sejatinya kontradiktif dengan konsep pendidikan yang sudah berjalan; setidaknya dengan kurikulum 2013 dimana kemandirian menjadi hal utama.
Materi-materi pembelajaran hanya sebagian kecil yang diterima di ruang kelas, sedangkan pengembangan menjadi hal besar yang harus dilakukan oleh siswa, baik selama didalam lingkungan sekolah, maupun diluar sekolah. Dan inilah yang menjadi jawaban mengapa akhirnya penyedia aplikasi pembelajaran siswa tumbuh pesat dan banyak diminati saat ini.Â
Sebut saja, Ruang Guru, Zenius, Quipper, dll...mereka adalah "jalur" pengembangan mandiri tadi untuk para siswa. Ketika dahulu siswa yang "haus" akan pelajaran tambahan harus datang ke ruang-ruang kelas institusi "les" seperti Teknos, Primagama, Nurul Fikri, dsb, kali ini bermodal HP yang biasa digunakan untuk komunikasi dan bermain games, juga sangat bisa digunakan untuk mengasah dan menambah pengetahuan mereka.
Tugas pengajar praktis hanya memberikan "jalan" saja dan menilai perkembangan dan hasil akhir, sebagai tolak ukur pencapaian siswa tadi.
Namun, saya pribadi menilai apa yang dilakukan seminggu belakangan belum cukup sebagai "memberikan jalan" tadi kepada para siswa yang melakukan SFH. Para pengajar yang "hanya" memberikan perintah membaca dan mengerjakan soal ini, rasanya terlalu "mudah" dan "memudahkan" siswanya dalam pencapaian pencarian ilmu pengetahuan.
Berdiam di rumah 24 jam (dikurangi waktu tidur malam 9-10 jam dan mungkin ditambah 1-2 jam di siang hari) dalam kondisi "terpenjara" karena untuk mengindari penyebaran virus berbahaya, dirasa sangat kurang padat bagi para siswa dalam menyerap ilmu, yang sejatinya mereka belajar di rumahnya dalam pengalaman masing-masing bersama orang tua, atau siapapun yang berinteraksi dengannya.Â