Walau terbilang telat bin molor dari target penggunaan saat Asian Games 2018 kemarin, akhirnya ketertinggalan dari sister city ajang Asian Games yakni Palembang terbayar sudah.Â
Bulan Maret ini, adalah bulan uji coba publik dan Launching penggunaan MRT Jakarta yang sejak dulu ditunggu-tunggu kehadirannya.
Jakarta yang memiliki luas sekitar 661,52 km dengan penduduk sekitar 10.374.235 jiwa (2017) ini, biasa menyebut dirinya kota metropolitan karena adanya integrasi dengan kota di sekitarnya dengan sebutan Jabodetabek, yang jika dijumlahnkan secara keseluruhan berpenduduk sekitar 28 juta jiwa. Karena itulah, Jakarta memantapkan posisinya sebagai kota metropolitan terbesar di Asia Tenggara atau urutan kedua di dunia. Dari jumlah tadi, diperkirakan lebih dari empat juta penduduk menempuh perjalanan menuju Jakarta setiap hari kerja.
Masalah transportasi semakin menjadi perhatian khusus dan telah diprediksikan bahwa tanpa terobosan transportasi yang baik, maka kemacetan akan semakin sangat parah sehingga bisa bisa kendaraan tidak bisa bergerak bahkan pada saat baru keluar dari garasi rumah pada tahun 2020.
Sejak era Gubernur Joko Widodo perubahan fundamental transportasi Jakarta mulai "dikebut". Pembenahan KRL Jabodetabek yang menjadi angkutan massal favorit dari dan Jakarta "disulap" menjadi meda transportasi yang nyaman dan aman.
Pengguna KRL "dipaksa" untuk tertib, dengan barang dagangan, seperti sayuran, ternak, bahkan melarang pedagang asongan dan penumpang KRL untuk duduk di atap atau luar gerbong kereta.
Pekerjaan ini berdampak sangat signifikan terhadap tingkat kecelakaan penumpang, ketertiban, dan ketepatan waktu perjalanan KRL (yang kini biasa disebut Commuter Line).
Tidak hanya itu, bangunan fisik stasiun dan penertiban kawasan sepanjang rel juga menjadi fokus dari pembenahan ini semua, sehingga target pelayanan publik akhirnya tercapai secara maksimal.
Namun jika kita mau membuka-buka arsip dan ingatan kita jauh ke belakang, proyek ini merupakan proyek lama yang pengerjaannya selalu mengalami penundaan.
Terhitung sudah 25 kali lebih studi kelayakan mengenai proyek MRT di Jakarta yang dilakukan sejak tahun 80-an, dan ketika mendekati tahap final Indonesia justru terkena dampak Krisis Moneter Global yang mengakibatkan kacaunya peta perpolitikan tanah air karena menjadi tidak memiliki arah pembangunan yang jelas.
Seiring perjalanan Reformasi, perjanjian kerja sama pengerjaan dan desain dasar MRT akhirnya bisa dilakukan pada tahun 2009-2010 pada masa kepemimpinan Gubernur Fauzi Bowo.
Layaknya berbagai "pembangunan ala Roro Jongrang" di Indonesia seperti pembangunan Tol Cipularang yang menjelang KTT Asia-Afrika 2005, Tol "Bali Mandara" yang dikebut jelang KTT APEC 2013.Â
MRT Jakarta-pun sekali lagi, santer disebut-sebut mengejar perhelatan akbar olahraga Asia, Asian Games 2018. Diperkirakan sebelumnya, kehadiran MRT akan menjadi salah satu "hiasan" bagi kedua kota penyelenggara Asian Games, yakni Jakarta dan Palembang.
Kehadiran MRT di Jakarta, ternyata masih meleset dari perhitungan. Berbeda dengan pengadaan MRT di Palembang yang dilaksanakan pada era Presiden Joko Widodo melalui Perpres Nomor 116 Tahun 2015 tentang percepatan penyelenggaraan kereta api ringan di Sumatera Selatan tanggal 20 Oktober 2015. MRT yang melayani rute Bandar Udara Sultan Mahmud Badaruddin II ke Kompleks Olahraga Jakabaring, berhasil selesai tepat waktu dan bisa digunakan secara efektif bagi warga dan Atlet maupun Official peserta Asian Games 2018 lalu.
MRT Palembang sendiri, melayani 13 stasiun dan 1 depot dengan menggunakan kereta produksi PT Industri Kereta Api (PT INKA) yang membentang hampir sepanjang 25 km dengan beberapa stasiunnya yang terintegrasi dengan moda transportasi publik berupa bus Trans Musi, yang sudah lebih dulu melayani warga dengan baik.
Ketidakhadiran MRT Jakarta saat Asian Games 2018 sedikit mengecewakan, karena sejatinya warga Jakarta saat itu sangat antusias melihat perubahan yang sangat cepat dan signifikan pada ibu kota sejak masa kepemimpinan Jokowi, yang kemudian dilanjutkan oleh Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Berbagai fasilitas umum seperti renovasi berbagai lokasi yang menjadi ikon kota Jakarta, pembenahan bantaran kali, peningkatan kebersihan kota, layanan pemerintah berbasis IT, serta taman-taman sebagai pemenuhan kebutuhan ruang publik gratis bagi warga.Â
MRT yang digadang akan bisa menurunkan tingkat kemacetan di Jantung ibu kota tentu sangat ditunggu kehadirannya, terlebih Commuter Line juga semakin diminati oleh banyak pihak sebagai moda transportasi utama karena dinilai sudah cukup tepat waktu, aman, dan nyaman.
Diawali dengan pemberian nama rangkaian kereta dengan "RATANGGA" yang berarti "KERETA PERANG" oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, warga yang diwajibkan mendaftarkan diri sebelumnya via salah satu aplikasi Bukalapak terlihat membludak.Â
Pendaftaran yang dibuka 2 minggu sebelum dimulainya uji coba, tidak tertampung, entah kursi yang diberikan selama 2 minggu penuh sepanjang pukul 08.00-16.00 WIB ludes habis dengan cepat. Antusiame ini, terlihat dari ramainya postingan di media sosial mengenai berhasilnya mereka mendapatkan jatah kursi untuk uji coba, dan postingan mereka saat tengah menjajal "mainan" baru warga kedepannya.
Kami sekeluarga-pun tidak ketinggalan tentunya, terlebih anak pertama kami sejak awal Februari 2019 lalu sudah mulai mempersiapkan dirinya menjadi Youtubers, dan kesempatan menjajal MRT Jakarta ini direncanakan menjadi vlog pertamanya.
Alhamdulillah, tanggal pertama dibukanya pendaftaran yakni tanggal 5 Maret 2019 kami sudah mendapatkan "jatah" kursi tersebut, lengkap untuk 6 orang member keluarga. Rute yang kami pilih jelas dari Bundaran HI menuju Lebak Bulus karena lokasi tempat tinggal lebih dekat ke Bundaran HI dibanding ke Lebak Bulus.
Di hari H, kami sudah semangat tidak mau terlambat, terutama anak-anak yang sudah "gatal" ingin memproduksi vlog pertama mereka, sampai-sampai kami sampai di Stasiun Bundaran HI lebih cepat 20 menit dari pembukaan gerbang pukul 08.00 pagi.
Warna sticker ini dibuat berbeda tergantung jam percobaan yang diikuti, untuk ujic oba pagi (Merah, 08.00-10.00 WIB), siang (Kuning, 10.00-12.00 WIB), Sore 1 (Hijau, 12.00-14.00 WIB), dan Sore 2 (Biru, 14.00-16.00 WIB). Oya, uji coba publik ini sendiri berlangsung dari tanggal 11 Maret-23 Maret 2019.
Nuansa "pembenahan" masih sangat terasa, di beberapa titik pekerja berpakaian helm proyek dan savety vest terlihat mengerjakan beberapa hal. Keseluruhan ruangan dan mesin pembelian ticket juga masih ditutupi kertas dan plastik, sedangkan petugas lainnya menyambut dengan ramah kepada semua warga yang ikut uji coba, bahkan petugas kebersihan pun tidak kalah tebar senyum dan sapanya manis sekali ini pikir saya.
Kekaguman dan keceriaan terlihat dari seluruh peserta uji coba, tidak jarang mereka terus menerus berfoto di berbagai titik di stasiun megah Bundaran HI, beberapa lainnya (sepertinya) membuat vlog juga atau bahkan ada yang melakukan live show untuk memberitakan kejadian bersejarah ini.
Setelah masuk di ruang tunggu MRT, mungkin sudah sedikit menurun "ketegangannya", karena situasi yang sama sudah kita jumpai jika kita pernah naik Skytrain di Bandara Soekarno Hatta (baca disini).
Namun, begitu mendengar suara pemberitahuan bahwa MRT tujuan Lebak Bulus akan mendekat dan Layar LED menunjukkan pemberitahuan yang sama, tiba-tiba warga yang sebelumnya sibuk ke sana ke mari langsung masuk antrian samping pintu dengan tertib, hanya beberapa orang saja yang masih berdiri di depan pintu yang kemudian diperingatkan petugas untuk mengantre di samping sesuai garis kuning. Hal yang sebetulnya tidak harus terjadi karena etos antre seperti tadi, sudah cukup lama diterapkan di Commuter Line Jabodetabek.
Kursi plastik, yang sebelumnya sempat ramai diperbincangkan di media sosial terasa nyaman. Selain karena bentuknya yang ergonomis, juga cukup lebar, beda dengan kursi yang kemarin sempat disebut sebagai kursi metro mini yang sempit. Toh, perjalanan Bundaran HI- Lebak Bulus hanya memakan waktu sekitar 30 menit saja, jadi jika kita tidak sampai ujung, kira-kira kita hanya duduk di kursi tadi sekitar 5-15 menit saja dan tidak perlu kursi berbusa empuk kan?
Di setiap stasiun, terhitung kereta berhenti untuk menaik turunkan penumpang sekitar 10-15 detik saja, yang ketika ditanyakan kepada security yang bertugas di atas gerbong, menurutnya waktunya bisa bertambah, tergantung banyak tidaknya yang sedang naik/turun, karena penutupan pintu bisa dilakukan manual oleh masinis selain otomatis lewat sensor.
Kekecewaan justru ketika kereta mulai berjalan dan masuk ke stasiun setelah bundaran HI, mungkin karena belum selesai terpasang, tidak ada sinyal komunikasi telepon.
Sinyal baru ada lagi ketika mulai keluar dari terowongan mendekati Stasiun Sisingamangaraja yang memang berada di atas elevated. Hal ini agak menganggu, terutama di jaman komunikasi seperti sekarang ini.
Saya yang pernah tinggal di luar negeri, dan merasakan hampir semua moda transportasi massal hampir di seluruh kota di wilayah Eropa dan Amerika sulit membedakan setiap halte yang dilewati.
Jika di Eropa dan Amerika untuk desain interior masing-masing nya memiliki kekhasan tertentu, di sini saya merasa semuanya mirip. Sehingga agak sulit mengetahui stasiun tadi jika dalam kondisi kaget, baru terbangun tidur, bengong, sehingga mengakibatkan kita turun dari kereta secara spontan karena merasa sudah sampai, namun yang terjadi malah salah stasiun.Â
Meskipun pemberitahuan via suara di dalam gerbong dan tulisan di layar LCD di atas pintu sudah jelas, namun tulisan nama stasiun di luar kereta sangat kecil, dan kurang besar, bahkan dinding terluar masih berupa coran beton yang belum dirapikan, padahal biasanya di dinding inilah nama stasiun juga ditulis dan dibuat besar plus berulang beberapa kali sebagai petunjuk lokasi selain ruang juga untuk para pemasang iklan.
Mata saya yang terbilang sehat (karena tanpa kacamata) ini saja terasa sulit melihat, apalagi mungkin bagi yang berkacamata, terlebih jarak antar petunjuknya juga agak jauh. Rasanya, dengan merubah bentuk menjadi lebih besar dan lebih banyak bisa tetap menjaga estetika desain interiornya deh.
Masih kurangnya integrasi moda transportasi juga jadi pekerjaan rumah, sebaiknya Pemprov segera merubah rute transportasi bus untuk bisa menjadi 1 kesatuan moda transportasi massal.
Mungkin MRT ini akan sepi peminat, atau justru sebaliknya, karena gosipnya penumpang "hanya" dipungut biaya 10 ribu sama rata, layaknya pemberlakuaan tarif 3500 rupiah untuk menggunakan layanan bus Trans Jakarta.
Jadi, jika dipikir-pikir dibanding naik ojek online dari Lebak Bulus-Bundaran HI yang memakan waktu lebih dari 40 menit, saya berpikir rasanaya justru MRT akan membludak penumpangnya.
Namun sayang, jumlah tempat duduk yang tersedia terlihat hanya sedikit di tiap stasiun. Mengingat waktu tunggu yang diberlakukan antar kedatangan masih 10 menit, cukup lama buat penumpang yang "lumayan" jarang berdiri dan naik turun tangga ini.
Sebuah perubahan nyata dan usaha kuat dari pemerintah demi melayani warganya dengan baik, serta tantangan baru bagi warganya untuk menjaga apa yang sudah dihasilkan dari pembayaran pajaknya untuk dijaga demi kepentingan pribadi dan orang lain tentunya.
Karena saya sangat kecewa sekali, di berita disampaikan saat ujic oba ini sudah ditemukan beberapa kursi yang dicoret-coret, bahkan jelas sebelum dioperasikan beberapa gerbong kereta MRT ini sudah menjadi target vandalisme warga yang tidak bertanggung jawab.
Indonesia sedang menuju ke arah itu, sudah saatnya kita bangga dengan apa yang kita punya. Jakarta terus berbenah, kedepan saya yakin akan banyak lagi terjadi perubahan yang baik.
Katanya juga akan ada MotoGP dan mungkin Olimpiade, yang kalaupun tidak diselenggarakan di Jakarta nantinya, pasti mereka akan mampir ke Jakarta, yang saat ini sedang dipoles agar terlihat cantik, karena Jakarta adalah etalase Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H