Mungkin kita masih sangat ingat kira-kira 5-10 tahun belakangan, ketika henpon berlayar sentuh sudah menjadi hal lumrah dipegang oleh siapapun dari kalangan manapun, serta rambahan layanan 3G bahkan 4G yang sudah kuat sinyalnya di pedesaan sekalipun, istilah emak-emakpun sama meroketnya dengan hal tadi.
Banyak artikel maupun video di youtube dilihat dan dibahas jutaan orang, baik emak-emak yang menyalakan sein kendaraan ke kanan, namun berbelok ke kiri, emak-emak tak berhelem yuang justru marah-marah ketika ditilang polisi, atau emak-emak yang parkir sembarangan dengan mengambil space terlalu besar sehingga menyulitkan orang lain untuk parkir di spot tadi.
Ratusan, bahkan ribuan kejadian tadi, akhirnya mengkonotasikan "emak-emak" sebagai kiasan buruk bagi para wanita khususnya ibu-ibu di negeri ini.
====
Namun kata "emak" jelas sudah menjadi kata yang biasa terdengar di masyarakat kita. Baik panggilan kepada ibu, nenek, atau perempuan paruh baya yang baru kita temui....dan jujur saja, orang tua kami (termasuk kami anak-anaknya) memanggil ibu dengan sebutan emak.
Lain halnya dengan ketika kita memasukkan kata "ibu" kedalam laman daring KBBI tadi, puluhan arti dan padanan kata akan berderet keluar yang bisa menjelaskan makna kata dan penggunaan kata ibu di keseharian kita.
Ibu yang menjadi penopang keluarga, ibu yang merawat anaknya, ibu yang menjadi salah satu tiang bangsa, bahkan surgapun digambarkan ada di telapak kaki ibu menjadi bias.
====
Ditengah kekisruhan "kelakuan" dan "kenyataan" tadi, sejak 2014 kedua kata ini justru dijadikan simbol politik. Kedua paslon capres-cawapres di 2014, yang juga berlanjut ke pemilu 2019 sedikit "mempolitisir" kedua istilah ini.
Ketika nilai "emak-emak" berkonotasi negatif tadi dipilih salah satu paslon yang katanya berniat memperbaiki, hingga akhirnya lahir istilah "The Power of Emak-Emak" ini, menggambarkan bahwa emak-emak juga mampu berkontribusi untuk bangsa.Â
Emak-emak yang berkali-kali terlihat berkontribusi pada demo mengenai bermacam isu politik, emak-emak yang terjun juga mempersiapkan logistik demo, dan emak-emak yang juga mampu berorasi dan menyatakan pendapat politiknya di panggung-panggung demo dan di ruang-ruang kampanye, dinilai sebuah gebrakan dan show of force bahwa emak-emak ini punya kekuatan dan andil besar dalam membentuk arah bangsa.
Lain halnya dengan kubu seberang, yang bahkan secara formal KOWANI (Kongres Wanita Indonesia) yang berdiri tidak lama setelah Sumpah Pemuda tahun 1928 mengatakan, bahwa "The Power of Emak-Emak" ini jelas memperburuk kesan ke-ibuan seorang wanita.Â
Persamaan gender bukan berarti sebebas-bebasnya bergerak, persamaan martabat bukan berarti seorang wanita berkelakuan seperti pria. Wanita Indonesia adalah Ibu Bangsa yang membentuk peradaban bukan kekerasan dengan teriakan-teriakan, demonstrasi dan bahkan momong anak dalam aksinya tadi, yang berkontribusi tanpa perbuatan atau tidakan yang nyata dalam membentuk sebuah bangsa.Â
Karena bangsa ini butuh Ibu yang mampu mempersiapkan generasi muda yang unggul, berdaya saing, inovatif, kreatif, dan memiliki wawasan kebangsaan yang militan, menutur Giwo dalam sambutannya dalam General Assembly International Council of Women ke-35 di Yogyakarta, September 2018 lalu.
Kubu ini pula yang tetap menggunakan kata Ibu atau Srikandi Bangsa dalam menterjemahkan setiap aksi dalam pergerakan kaum perempuannya dalam berbuat untuk bangsa atau langkah berpolitiknya.
====
Kini, ditengah-tengah "panasnya" suhu politik tanah air jelang duelnya kembali Kubu Jokowi dan Kubu Prabowo, Emak-emak ini kembali menunjukkan taringnya...
Bagaimana "emak-emak" ini, turun ke grass root membagikan berbagai macam "bingkisan" atau "cinderamata" sambil mengajak untuk mememangkan salah satu paslon sambil curhat bagaimana nasib bangsa jika pemimpin kedepannya masih terus mementingkan linfrastruktur yang tidak bisa dimakan.Â
Kita lihat militansi "emak-emak" ini juga dalam orasinya di panggung-panggung keagamaan membawa nama Tuhan yang Agung, agar ummat ini rela mengorbankan hartanya yang paling berharga sekalipun demi memenangkan paslon yang diusungnya.Â
Belum lagi bagaimana kita lihat perjuangan "emak-emak" ini memanipulasi kejadian, hingga pucuk pimpinanya pun ikut dilibatkan untuk membela sebuah kejadian operasi pribadi menjadi sebuah kejadian kriminal di depan khalayak. Hingga, perjuangan "emak-emak" di level bawah menjadikan doktrin-doktrin "tidak terkonfirmasi" sekalipun, menjadi tombak tajam untuk dijadikan materi kampanye dalam mendulang suara dan kepercayaan masyarakat.
Para ibu ini sibuk mengatur dan menjaga perekonomian bangsa, para ibu ini sibuk mendengar dan mengejar apa yang diinginkan rakyatnya, para ibu-ibu dibawah juga sibuk membagikan materi kampanye yang tetap sabar walau menerima penolakan-penolakan.
Belum lagi "ibu-ibu" ini juga sibuk menggendong anaknya dalam kesehariannya berjualan di pasar, "ibu-ibu" yang kerap bersyukur dalam doanya atas apa yang sudah dicapai oleh pemerintah siapapun pemimpinnya, "ibu-ibu" yang ikut menyebarkan kebaikan kepada orang-orang disekitarnya tanpa perlu menjelekkan atau menihilkan apa yang sudah dan bisa mereka peroleh sampai saaat ini.
====
Kita harus paham, pejabat publik, timses, pemuka agama, tokoh masyarakat, selebriti, sebisa mungkin tidak melakukan kesalahan baik perkataan maupun perbuatan, karena apa yang dilakukannya dipastikana akan menjadi pemakluman bahkan yang lebih berbahaya akan dijadikan contoh sebagai pembenaran di mata publik.Â
Mereka manusia, dan tidak ada kesempurnaan juga baginya tentu. Tinggal kita sebagai manusia yang berakal yang seharusnya mampu menilai, mampu memilah dan memilih, mana yang baik mana yang buruk bagi kita pribadi, keluarga kita, dan bagi bangsa yang besar ini.Â
Terutama jika kita paham kodrat  sebagai wanita, sebagai ibu, yang menjadi ujung tombak akhlak keluarga. Jadi, siapa juaranya?
sumber 1Â
sumber 2Â
sumber 3Â
sumber 4Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H