Masih hangat rasanya kita disuguhi deretan hasil (baca: prestasi) pasangan gubernur - wakil gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Sandiaga Uno, dalam 1 tahun kepemimpinannya.
![seword.com](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/02/05/images-5c588cbac112fe512d09dc25.png?t=o&v=770)
Salah satunya adalah, janji kampanyenya yang sudah "LUNAS" di bidang transportasi (baca disini), yakni transportasi murah yang merakyat. Tranportasi kemana saja di dalam jakarta yang hanya mengeluarkan uang 5000 rupiah saja.
====
OK OTrip, sebuah terobosan yang digagas wakil Gubernurnya Sandiaga Uno, yang sedari masa kampanye memang selalu mengusung Kata dan Simbolisme OK OCE, yang kemudian secara bertahap akan diterapkan "nama sejenis" di segala bidang dalam kepemerintahan duetnya dengan Anies Baswedan.
Program "penyederhanaan" transportasi pertama kali dilakukan jaman Gubernur Sutiyoso yang diaplikasikan di Tras Jakarta (sering disebut Busway), yang menyederhanakan Transportasi makro ibukota (baca disini), yang kemudian dilanjutkan oleh Gubernur Fauzi Bowo, yang cukup berhasil meningkatkan angka pengguna Transportasi umum di ibukota. Moda Transportasi 1 harga, praktis, dan tepat waktu lancar diluncurkan dan dikembangkan, walau awalnya dianggap remeh banyak pihak.
Di jaman pemerintahan setelahnya, selain juga terus membenahi WARISAN UTAMA berupa penambahan koridor bus Trans Jakarta, penambahan armada secara besar-besaran karena rasio penumpang dan bus yang sudah tidak memadai, Gubernur Jokowi menyoroti permasalahan yang lebih krusial, karena lebih menyedot jumlah pengguna yang lebih besar, dan lebih tinggi angka kematiannya saat itu, yakni KRL Jabodetabek. Langkah ekstrim berupa penggusuran lokasi hunian pinggir rel, penertiban pedagang liar sekitar stasiun, hingga peremajaan kawasan stasiun, dengan bekerjasama dengan Kementerian Transportasi dan PT Kereta Api Indonesia sendiri (baca disini), berbuah manis. Pembenahan ini awalnya banyak dikecam karena dinilai tidak "manusiawi", namun kini hasil tadi justru menunjukkan betapa manusiawi dan adilnya fungsi dan peruntukan masing-masing moda transportasi yang hadir di ibukota.
![dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/02/05/b09flalcuaicxoh-large-5c5891ebc112fe1adb270b28.jpg?t=o&v=770)
Kini, masa kepemimpinan Anies-Sandi, dimana sebuh proses EvolusiBRT sangat dibutuhkan... Moda Transportasi BRT (Bus Rapid Transit) dengan jalur lintasan terpanjang di dunia ini, mengalami sedikit sekali perkembangan. Setelah hanya meresmikan jalur transjakarta "mewah" berjudul Royaltrans jurusan Poris (tangerang)-Senayan (jakarta), dan Bus MetroTrans buatan Eropa yang sudah ready sejak jaman Ahok, Koridor 14-15 pun belum juga "disentuh" pasangan baru pemimpin jakarta ini (baca disini). Kedua pasangan ini justru fokus membenahi Angkot (Angkutan Kota) yang mayoritas bernaung di bawah Mikrolet (Mikro Oplet), KWK (Koperasi Wahana Kalpika) dan KBL (Koperasi Budi Luhur).
Pasangan ini memang sudah menerapkan janji kampanyenya yang mereka sebut OK OTrip tadi. Mikrolet, KWK dan KBL ini, dibayar oleh PT Trans Jakarta sebesar 3600-3900 rupiah per kilometernya, dengan asumsi bisa mencapai 200 km operasional per harinya (baca disini). Kesepakatan ini, bertujuan agar angkot-angkot di seputaran ibukota tidak lagi "ngetem", namun bisa berjalan layaknya bus Trans Jakarta berkeliling tanpa memikirkan biaya operasional yang akan dikeluarkan, karena sudah ditutupi oleh PT Trans Jakarta.
Sebuah hal berbeda dengan rencana Gubernur Ahok sebelumnya, yang justru berniat menghilangkan Angkot, dengan membatasi moda transportasi yang digunakan untuk publik di wilayah lingkungan adalah moda transportasi bus ukuran medium yang bisa dipakai warga secara bersama, sebagai pilihan angkutan publik dan memberikan kuasa kepada 2 operator KOPAJA dan METRO MINI sebagai bentuk bus pengumpan (Feeder) TransJakarta nantinya, termasuk penerapan 1 harga Transportasi publik di Jakarta (baca disini).
====
![website trans jakarta](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/02/05/angkot-di-tanjung-priok-5c58925043322f34dc73c352.jpg?t=o&v=770)
Lain ladang lain belalang, dimasa "kejombloan" pimpinan DKI setelah Anies ditinggalkan Sandi yang maju menjadi cawapres di pilpres 2019 mendatang, kebijakan OK OTrip justru dimatikan, dan di rubah namanya menjadi Jak Lingko yang berarti Jakarta yang terintegrasi. Kata Lingko sendiri adalah kata baru yang masuk kedalam Kamus Besar Bahasa Indonesia di bulan Oktober 2018 (baca disini).
Setelah OK OTrip banyak dikritik dan selalu gagal dalam uji coba yang hingga 4x diperpanjang karena tidak sesuai dengan harapan (baca disini).
Jak Lingko disebut merupakan hasil final dalam mengintegrasikan Angkutan Lingkungan Kecil denga Trans Jakarta, walau sudah jelas kendala pengintegrasian ini lebih besar mengalami kesulitan dalam distribusi pembayaran, seperti kita ketahui sebagian besar angkot merupakan milik pribadi, bukan langsung dikelola oleh mikrolet, KWK, atau KBL, sehingga tingkat pengawasan dan kebocoran akan lebih tinggi, ketika tagihan pembayaran ke PT Trans Jakarta akan sulit teraudit dengan fakta operasional pengemudi di lapangan.
====
![dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/03/26/img-4328a-jpg-5c998d70cc52831d041b58b7.jpg?t=o&v=770)
![dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/02/05/img-5945a-jpg-5c58939aaeebe159196858a4.jpg?t=o&v=770)
Oh ya, Jalur OK OTrip sendiri belum menyeluruh, jalur trayek yang sudah tersedia saat ini adalah :
1. OK 1 dengan rute Tanjung Priok-Plumpang
2. OK 2 dengan rute Kp Melayu-Duren Sawit
3. OK 3 dengan rute Lebak Bulus-Pondok Labu
4. OK 4 dengan rute Grogol-Tubagus Angke
5. OK 5 dengan rute Semper-Rorotan
6. OK 6 dengan rute Kp Rambutan-Pondok Gede
7. OK 7 dengan rute Grogol-Tanah Abang
8. OK 8 dengan rute Roxy-Bendungan Hilir
9. OK 9 dengan rute Roxymas-Karet
10. OK 10 dengan rute Tanah Abang-Kota
11. OK 11 dengan rute Tanah Abang-Kemayoran Lama
12. OK 12 dengan rute Tanah Abang-Kebayoran Lama
13. OK 13 dengan rute Tanah Abang-Jembatan Lima
14. OK 14 dengan rute Tanah Abang-Meruya Ilir
15. OK 15 dengan rute Tanjung Priok-Bulak Turi
16. OK 16 dengan rute PGC-Condet
17. OK 17 dengan rute Terminal Senen-Terminal Pulogadung
18. OK 18 dengan rute Pasar Minggu-Manggarai
19. OK 19 dengan rute Pinang Ranti-Setu
20. OK 20 dengan rute Korosono-Cipinang Permata
21. OK 21 dengan rute Maphilindo-Dewi Sartika
22. OK 22 dengan rute Dwikora Raya-Pandjaitan
23. OK 23 dengan rute Senen-Kampung Melayu
24. OK 24 dengan rute Senen-Pulogadung
25. OK 25 dengan rute Kalisari-Pasar Rebo
26. OK 26 dengan rute Kalimalang-Rawamangun
27. OK 27 dengan rute Pulogadung-Rorotan
28. OK 28 dengan rute Pasar Rebo-Taman Wiladatika
29. OK 29 dengan rute Semper-Tanjung Priok
30. OK 30 dengan rute Meruya-Citraland
31. OK 31 dengan rute Pondok Labu-Blok M
32. OK 32 dengan rute Lebak Bulus-Petukangan Utara
33. OK 33 dengan rute Pulogadung-Kota
![dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/02/05/39914504-2175313685836762-6199548231056097280-n-5c58923cab12ae51843d1b06.jpg?t=o&v=770)
![dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/02/05/dqhafxbwoaagpnp-large-5c58939fc112fe1ade01a5b2.jpg?t=o&v=770)
====
![website trans jakarta](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/02/05/dw16wecvsaaxrwd-5c58922f6ddcae3361135fb8.jpg?t=o&v=770)
Jadi, sepertinya masih banyak PR untuk membenahi ini semua. Setelah Stiker OK OTrip yang kemudian harus dikelupas dan dibuang lalu digantikan Stiker JAK Lingko dengan promo yang SAMA PERSIS, GRATIS naik Angkot dan cukup membayar 3500-5000 rupiah jika meneruskan perjalanan dengan bus Trans Jakarta, membeli kartu baru Jak Lingko seharga 10.000 rupiah dibanding menukarkan secara gratis kartu OK OTrip (beda dengan proses penggantian kartu langganan KRL yang GRATIS ketika berubah kartu jenis baru), entah bagaimana lagi kedepannya gubernur Anies Baswedan akan berusaha mengintegrasikan keseluruhan Moda Transportasi Publik di Jakarta, yang dalam waktu dekat akan hadir MRT (Mass Rapid Transport), LRT (Light Rapid Transport), dan KRL (Commuter Line) yang sudah lebih dulu menjadi andalan, sedangkan TransJakarta saja belum "dipegang" sama sekali saat ini.
Akankah beliau menunggu "pasangan" barunya yang masih kisruh di level partai pendukung? Atau menunggu "nasib" pilpres 2019 ? Atau sebetulnya sudah ada strategi mumpuni yang disiapkan, kita sebagai warga DKI tinggal menunggu saja gebrakan fantastisnya?
Cuma waktu yang bisa menjawab. Yang penting, jangan sampai Nama baru (lagi), tapi masalah (tetap) sama kedepannya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI