Eh, penyakitnya sih ada...si Bemo itu, susah sekali kalau di stater; kadang butuh hampir 5 menit buat hidup, atau jika filter bensinnya kotor, jalannya suka ndut-ndutan :)
Saya pribadi, sejak 1995 aktif menggunakan bemo sebagai alat transportasi untuk berangkat sekolah, sampai saya lulus kuliah. Karena hampir setiap hari,banyak sekali supir bemo yang sudah kenal, terkadang saya dikasih "free ride" kalau misalnya di tengah jalan banyak penumpang "short trip", jadi sang supir punya "untung" besar dengan sering bergantinya penumpang. Atau bahkan ketika masih dalam kondisi "ngetem" menunggu penumpang, saya dan supir-supir tadi sering bercerita ngalor-ngidul di warung-warung dekat pangkalan bemo.
Namun, sejak 2014-2015, seiring tumbuhnya ojek online dan sosialisasi pelarangan beroperasinya bemo di DKI Jakarta, bemo mulai kehilangan pelanggannya. Satu per satu mulai minggir ke wilayah kota kecil, dan ada beberapa bahkan menjadikan bemonya sebagai "odong-odong", yang menarik gerbong tambahan yang dinaiki anak-anak dan pendampingnya berkeliling-keliling, dilengkapi lampu warna-warni dan musik..
Pemda sendiri, memberikan jalan keluar/ menggantikan bemo dengan Qute. sejenis kendaraan kecil berkapasitas mirip Bajaj, dan menggunakan gas sebagi bahan bakarnya. Selain terus mengembangkan koridor Bus Transjakarta sebagai EvolusiBRT , dan terakhir program Jak Lingko unutk transportasi jarak dekat.
Awalnya Qute beroperasi, sama persis dengan trayek bemo sebelumnya yang hilang. Namun, kian hari, karena hanya muat 4 orang... tentunya angka pembagi biaya perjalanannya semakin besar sehingga penumpang harus membayar mahal. Jika sebelumnya ongkos terakhir menggunakan bemo per orang 4000 rupiah, dengan Qute ini, harus membayar 7000 ribu rupiah. Angka yang berbeda tipis dengan menggunakan ojek online bahkan bisa jauh lebih murah jika ada promo tertentu dari perusahaan OJOL (ojek online) tadi, ditambah waktu tempuh yang lebih cepat dengan menggunakan motor roda dua.
Akhirnya, selain minat konversi dari bemo lama ke Qute minim sekali, karena harganya terbilang "kemahalan", para supir bemo ini merubah ladang pencaharian mereka. Terakhir, saya bertemu ada yang menjadi Hansip, Satpam Gedung, atau berjualan di pasar. Alhamdulillah beberapa masih mengenali saya sebagai pelanggan lamanya.
At the end... si "monyong" yang tangki bensinnya hanya menggunakan dirigen bekas oli 5 ltr yang ditaruh di depan kaki penumpang atau di sandaran tengah antara supir dan penumpang ini, yang kalau distater businya suka meledak-ledak, yang kalau hujan kaca siis penumpangnya sudah berupa kardus atau triplek, yang kalau hujan lebat supirnya kewalahan karena harus menghapu air hujan dengan tangannya sambil nyetir... tinggal kenangan, namun saya cukup senang setelah menikah dan punya anak, mereka masih sempat merasakan berjalan-jalan dengan apa yang pernah ayahnya naik secara rutin dari jaman sekolah sampai lulus kuliah...
Pengen suatu hari beli bemo ini buat kenang-kenagan, dibagusin lagi, ditempeli lagi nomor trayek dan rutenya, lalu disimpan di garasi atau ruang tengah, dan kadang dipakai jalan-jalan keliling komplek buat manasin mesinnya....
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H