BLACK CAMPAIGN, yang saat itu mulai dikenal, diracik sedemikian rupa oleh masing-masing tim sukses untuk menjatuhkan lawan. Materi tadi dikemas dalam pesan pendek, yang juga disebar melalui mailing-list (mulainya era internet dipakai secara massal dan terjangkau) yang menjadi pesan berantai ke masing-masing individu yang menjadi pendukungnya, dengan tingkat kebocoran yang sangat rendah karena tidak bisa terlihat oleh lawan. Materi tadi ditelan bulat-bulat tentunya oleh para pendukung dan simpatisannya.
Seiring berjalannya waktu, masing-masing tim sukses makin menyadari kalau metode penyebaran massal sangat efektif, lalu jelang 2014 mulai dibentuklah tim sukses yang memanfaatkan media sosial untuk kebutuhan kampanye. Efek terbuka yang dimiliki media sosial inilah yang akhirnya manjadi runcing, karena siapapun dapat membaca dan menanggapi status atau sebuah isu yang digulirkan seseorang di akun pribadinya.
Mulailah kita memasuki era HOAX.
====
Kini, makin terbukanya era informasi dan komunikasi, dimana semua orang memiliki akun media sosial, tidak terkecuali pejabat negara. Pejabat-pejabat ini yang sebelumnya dianggap posisi sakral, elite, kini menjadi tanpa batas. Masyarakat bisa menyapa, mengkritik, memberi masukan, bahkan menghina pejabat di akun-akun media sosial mereka. Ada yang men-tag langsung ke akun pejabat tadi, namun lebih banyak yang tidak men-tag atau membuat panggilan-panggilan bernada merendahkan lainnya.
Para Pejabat inipun, secara terbuka berbagi kegiatan keseharian mereka agar dinilai "transparan" para para pendukung dan yang memiliki paham bersebrangan, dengan tentunya beresiko lewat tanggapan atau komentar terbuka bagi siapapun pemilik sosial media yang sama.
Hal inilah yang kemudian memicu "perang terbuka" antar kubu pendukung dan kubu bersebrangan.
Semua hal tadi, dilahap habis oleh netizen atau warganet dalam istilah Indonesia yang dibakukan. Mereka tidak peduli lagi darimana sumber berita/ isu tadi berasal, ketika sudah sesuai dengan keinginan untuk menjatuhkan lawan, maka tombol forward dan share menjadi andalan, agar pesan/ berita tadi juga bisa sampai ke orang lain dengan cepat, baik yang sepaham maupun ke pihak yang berseberangan sebagai bahan hinaan/ sindiran. (syarat media dipercaya baca disini ).
====
Kembali ke pejabat negara, terutama yang kemudian berseberangan di partai politik, entah kenapa kini mereka pun aktif membuat HOAXÂ di masyarakat, dan kemudian dijadikan acuan bagi para pengikutnya. Sebuah hal yang sangat ditakutkan dalam berdemokrasi yang belum dewasa seperti di Indonesia. Karena sudah menjadi fitrah bahwa pejabat, tokoh masyarakat, atau bahkan pemuka agama, ucapan dan perbuatannya akan sangat menginspirasi, dituruti dan dianggap sebuan nilai kebenaran bagi khalayak.
Banyak sekali isu yang berkembang dan disebarkan hanya untuk menjatuhlan lawan. HOAXÂ dikemas sedemikian rupa agar menjadi isu negatif bagi lawan.
Jadi, ketika permasalahan tadi sudah ketok palu di DPR, itu sudah menjadi acuan kebijakan yang harus dipatuhi dan dilaksanakan, bukan kemudian "digoreng" menjadi polemik berkelanjutan di masyarakat.
Ingat, pembahasan permasalahan kebijakan pemerintah di DPR bukan seperti talkshow-talkshow debat di televisi, yang sudah sedemikian rupa di setting dengan batasan durasi, batasan tema, dan batasan isu perbincangan, demi mengejar target rating/share berdasar audience yang sudah terukur.
====
Belum lagi, isu-isu hutang untuk biaya pembangunan nasional, penjualan BUMN, pajak selangit, alokasi Anggaran, menjadi bola-bola panas yang digulirkan lewat mulut-mulut, wawancara, dan status media sosial anggota DPR, tokoh masyarakat, dan pemuka agama kita. Yang dari rapat-rapat, ketokan palu, dan ceramah merekalah itu berubah menjadi keputusan. Yang dari merekalah isu ini dilempar ke masyarakat untuk diributkan dengan dalih pemerintahan saat ini yang menjadi penyebabnya, hanya karena "jagoan" mereka (dan mereka sendiri tentunya) ingin juga berkuasa.
MENGERIKAN sekali strategi-strategi yang dilakukan. Berbagai HOAXÂ dan PEMUTARBALIKAN FAKTA juga disandingkan untuk menguatkan kekhawatiran atas kebijakan-kebijakan tadi, sehingga masyarakat yang bersimpati ke kubu mereka, makin terbakar semangat "berkorban"nya, bahkan tidak segan melakukan apapun untuk menjadikan "idola"nya menjadi pemenang.
2014, ketika disahkan Presiden dan Wakil Presiden Republik ini, seharusnya justru mendinginkan situasi politik. Situasi yang idealnya semua bersatu membangun Indonesia ditengah tantangan global, malah dimanfaatkan untuk terus dipertajam dan dipisahkan oleh kubu yang bersebrangan, yang mengaku sebagai OPOSISI.Â