Yasser Arafat: Perjalanan Panjang Sang Ikon Perjuangan Palestina
Nama Yasser Arafat selalu melekat erat dengan perjuangan rakyat Palestina dalam upaya mereka meraih kemerdekaan dari penjajahan. Sebagai salah satu tokoh paling berpengaruh di Timur Tengah, perjalanan hidup Arafat dipenuhi dengan perjuangan politik yang tak kenal lelah, kontroversi, serta dedikasi luar biasa bagi rakyat Palestina. Artikel ini akan mengupas tuntas kehidupan Yasser Arafat, mulai dari masa kecilnya, awal mula karier politiknya, hingga perannya sebagai simbol perlawanan Palestina di mata dunia.
Masa Kecil dan Pendidikan
Yasser Arafat lahir dengan nama Mohammed Abdel-Raouf Arafat al-Qudwa al-Husseini pada 24 Agustus 1929, di Kairo, Mesir, meskipun beberapa sumber mengatakan ia lahir di Yerusalem. Arafat adalah anak keenam dari tujuh bersaudara. Keluarga Arafat berasal dari Gaza, tetapi setelah kematian ibunya saat ia berusia lima tahun, Arafat dan saudara-saudaranya pindah ke Yerusalem untuk tinggal bersama pamannya.
Sejak kecil, Arafat sudah diperkenalkan dengan isu-isu politik yang berkaitan dengan tanah air Palestina. Pendidikan formalnya dimulai di Kairo, di mana ia mengambil studi teknik di Universitas King Fuad I (sekarang Universitas Kairo). Saat di universitas, Arafat mulai menunjukkan minat yang besar terhadap politik, khususnya dalam kaitannya dengan isu Palestina. Ia terlibat dalam pergerakan mahasiswa dan mulai menunjukkan bakatnya dalam berorganisasi.
Awal Karier Politik
Setelah menyelesaikan pendidikannya, Arafat terjun ke dunia politik. Pada tahun 1956, ia bertugas di Tentara Mesir dalam Perang Suez, yang memperkuat pandangannya tentang perlunya perjuangan bersenjata melawan Israel. Namun, peran Arafat sebagai pemimpin politik Palestina dimulai ketika ia mendirikan Fatah pada tahun 1959 bersama Khalil al-Wazir dan tokoh-tokoh Palestina lainnya. Fatah adalah sebuah organisasi gerilya yang bertujuan untuk membebaskan Palestina melalui perjuangan bersenjata.
Fatah kemudian menjadi organisasi terbesar dalam Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), yang didirikan pada tahun 1964. Pada tahun 1969, Arafat terpilih sebagai Ketua PLO, sebuah posisi yang ia pegang hingga kematiannya. Di bawah kepemimpinan Arafat, PLO melancarkan serangkaian serangan terhadap sasaran Israel, dan Arafat menjadi simbol perlawanan Palestina di seluruh dunia.
Puncak Kepemimpinan dan Kontroversi
Tahun 1970-an dan 1980-an adalah masa di mana Arafat mencapai puncak karier politiknya. Setelah berhasil membawa PLO menjadi pemain utama dalam politik Timur Tengah, Arafat berupaya membangun dukungan internasional bagi perjuangan Palestina. Pada 1974, ia menyampaikan pidato bersejarah di hadapan Majelis Umum PBB, di mana ia memperkenalkan dirinya kepada dunia dengan menyatakan bahwa ia membawa "sebuah cabang zaitun dan sebuah senjata revolusioner."
Namun, kepemimpinan Arafat tidak lepas dari kontroversi. Banyak pihak yang mengkritik metode kekerasan yang digunakan oleh PLO, termasuk serangan teroris yang dilancarkan oleh faksi-faksi radikal dalam PLO. Arafat juga sering dianggap terlalu otoriter dalam memimpin PLO, dan ada perpecahan internal dalam organisasi tersebut.
Perjanjian Oslo dan Hadiah Nobel Perdamaian
Pada awal 1990-an, Arafat mulai mengubah pendekatannya. Setelah bertahun-tahun menggunakan perjuangan bersenjata sebagai strategi utama, ia mulai mencari jalan damai untuk menyelesaikan konflik dengan Israel. Pada tahun 1993, Arafat menandatangani Perjanjian Oslo dengan Perdana Menteri Israel, Yitzhak Rabin, yang membuka jalan bagi pembentukan Otoritas Palestina dan pengakuan internasional terhadap hak-hak Palestina.
Perjanjian Oslo menjadi momen penting dalam perjalanan politik Arafat, di mana ia bersama Rabin dan Shimon Peres dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 1994. Meski begitu, kesepakatan tersebut juga menimbulkan protes dari kalangan Palestina yang merasa bahwa Arafat telah mengkhianati perjuangan mereka dengan mengakui eksistensi Israel tanpa memperoleh konsesi yang berarti.
Masa Akhir Kehidupan dan Warisan
Pada tahun-tahun terakhir hidupnya, Yasser Arafat menghadapi tekanan yang semakin besar, baik dari pihak Israel maupun dari dalam Palestina sendiri. Intifada Kedua yang meletus pada tahun 2000 menandai kembali terjadinya kekerasan antara Palestina dan Israel, dan Arafat dianggap oleh Israel sebagai penghalang utama dalam proses perdamaian.
Pada Oktober 2004, kesehatan Arafat memburuk dan ia diterbangkan ke Paris untuk mendapatkan perawatan medis. Setelah beberapa minggu dirawat, Arafat meninggal dunia pada 11 November 2004, dalam usia 75 tahun. Penyebab kematiannya masih menjadi misteri, dengan beberapa pihak menduga ia diracun.
Warisan Penuh Kontroversi
Yasser Arafat meninggalkan warisan yang kompleks dan penuh kontroversi. Bagi banyak orang Palestina, ia adalah pahlawan yang tak kenal lelah dalam memperjuangkan hak-hak mereka. Bagi yang lain, ia adalah simbol dari perjuangan yang gagal untuk mencapai tujuan akhirnya. Meskipun demikian, Arafat akan selalu dikenang sebagai salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah modern Palestina, seorang pemimpin yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk memperjuangkan kemerdekaan bagi bangsanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H