Menyingkap Sisi Gelap Politik: Antara Realita dan Persepsi
Politik yang Terkotor: Mengapa Persepsi Ini Terus Hidup?
Dalam kehidupan sehari-hari, sering kali kita mendengar bahwa "politik itu kotor, tidak bermoral, harus sikut-sikutan, dan tidak beretika." Banyak yang berpendapat bahwa politik hanya memiliki dampak negatif. Namun, apakah pandangan ini sepenuhnya benar? Atau hanya persepsi yang terbentuk dari serangkaian kejadian dan pengalaman yang kita lihat di sekitar kita?
Korupsi dan Nepotisme: Realita yang Menguatkan Persepsi
Di Indonesia, beberapa kasus korupsi besar menguatkan persepsi negatif tentang politik. Misalnya, kasus korupsi yang melibatkan beberapa pejabat tinggi di Kementerian Sosial pada tahun 2020, di mana dana bantuan sosial untuk pandemi COVID-19 disalahgunakan. Kasus ini tidak hanya mencoreng nama baik pejabat terkait, tetapi juga membuat masyarakat semakin tidak percaya pada integritas politik.
Nepotisme juga menjadi masalah yang sering muncul. Contoh nyata dapat dilihat dalam beberapa pemerintahan daerah, di mana posisi penting sering kali diisi oleh kerabat atau teman dekat kepala daerah, bukan berdasarkan kompetensi dan profesionalisme.
Politik Sikut-Sikutan: Kompetisi Tanpa Batas
Fenomena "sikut-sikutan" dalam politik sering kali muncul dalam proses pemilihan umum. Misalnya, pemilihan gubernur Jakarta pada tahun 2017 menjadi sorotan karena kampanye yang penuh dengan isu-isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan). Kampanye yang seharusnya berfokus pada program dan visi-misi kandidat, justru menjadi ajang saling menjatuhkan dengan menggunakan isu-isu sensitif. Ini menciptakan ketegangan sosial dan memperdalam jurang perpecahan di masyarakat.
Etika dalam Politik: Di Mana Garisnya?