Apa susahnya bagi institusi sebesar kepolisian untuk menemukan 'kejanggalan' dalam sebuah jenazah? Jika kita tengok kebelakang, banyak misteri kematian yang dibongkar Polri dari autopsi jenazah. Lihat, bagaimana cepatnya polisi mengidentifikasi jenzah korban ledakan bom di sejumlah tempat, walaupun kondisi jenazah sudah hancur.
Yang belakangan dan masih hangat, bagaimana polisi akhirnya mampu mengidentifikasi jenazah para pelaku terorisme dengan yang bukan. Yang lainnya, terkait kematian Wayan Mirna Salihin atau Mirna (27) yang mendadak kejang-kejang dan akhirnya meninggal di Restauran Olivier, di West Mall Grand Indonesia, Jakarta, Rabu (6/1/2016) lalu, dimana polisi akhirnya menyimpulkan penyebab kematian Mirna ternyata adalah racun mematikan berlabel sianida berkadar kadar 15 miligram.
Tapi, bagaimana dengan hasil autopsi meninggalnya bayi Falya yang sudah dilakukan jauh hari, tepatnya pada Jumat, 27 November 2015 lalu?
Apakah pihak kepolisian sudah mengumumkan hasilnya? Sejauh ini, pihak kepolisian dari Polda Metro Jaya belum mengumumkan hasil autopsi. Pertanyaan pun muncul, kenapa menyimpulkan penyebab meninggalnya bayi Falya begitu lama? Padahal untuk membedakan para pelaku teroris, hanya butuh waktu beberapa hari.
Jawabnya bisa jadi sederhana: "Karena memang tidak ditemukan kejanggalan dari hasil autopsi terhadap jenazah bayi Falya". Kok bisa begitu? Karena jika polisi menemukan kesalahan prosedur (malpraktik) atau kejanggalan lain dalam meninggalnya bayi Falya Raafani Blegur, polisi pasti akan segera mengumumkan temuannya.
Kenapa saya sangat yakin jika polisi tidak menemukan kejanggalan terhadap meninggalnya bayi Falya? Jawaban ini didasarkan pada fakta-fakta yang bergulir selama ini. Dari fakta-fakta selama proses ini bergulir, pihak Awal Bros sudah melakukan kewajibannya sesuai SOP yang berlaku, juga sudah sesuai dengan kode etik kedokteran yang diprakarsai oleh IDI (Ikatan Dokter Indonesia).
Sayangnya, atau memang ini karena ada 'media setting', pemberitaan mengenai meninggalnya bayi Falya, belum-belum sudah menuduh Awal Bros telah melakukan malpraktik.
Padahal jika mau jujur, harusnya awak media pun juga memberitakan kronologis awal kenapa bayi Falya harus segera dirawat di ruang ICU (intensive care unit). Sekedar informasi, orang tua bayi Falya Raafani Blegur terlambat membawa Falya ke rumah sakit untuk segera mendapat perawatan. Sampai-sampai ada salah satu anggota keluarga memaksa Ibrahim Blegur (ayah Falya) untuk segera membawa Falya ke rumah sakit, melihat kondisi bayi Falya yang makin kritis.
Atas desakan itu, orang tua bayi Falya akhirnya membawa Falya ke Rumah Sakit Awal Bros Bekasi (28/10/2015). Dokter jaga di ruang ICU lantas memeriksa bayi Falya. Usai memeriksa, dokter akhirnya mendiagnosa jika bayi Falya mengalami kurang gizi, diare akut, dehidrasi ringan sedang, dan intake sulit, sehingga harus segera dilakukan upaya pengobatan dan perawatan inap dan perawatan ICU.
Setelah mendapat paparan hasil diagnosa Falya dari dokter saat itu, singkat cerita, orang tua bayi Falya akhirnya setuju untuk segera dilakukan tindakan perawatan di ruang ICU. Sebelum masuk ruang ICU, orang tua Falya menandatangani form persetujuan tindakan rawat inap, yang di situ melampirkan hasil diagnosa dokter jaga ICU. Sampai pada proses ini sebenarnya kita sudah bisa melihat bahwa Rumah Sakit Awal Bros telah melakukan proses 'inform consent' atau persetujuan tindakan medik secara tertulis maupun lisan saat proses pelayanan medis terhadap pasien.
Tapi di lain sisi, dari hasil diagnosa itu makin menguatkan indikasi telatnya orang tua membawa bayi Falya ke rumah sakit, sehingga mengalami kondisi seperti terurai dalam diagnosa.