Mohon tunggu...
Masrully
Masrully Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati Kebijakan Publik

Alumni Universitas Andalas

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Bisnis Jabatan, Sebuah Patologi Birokrasi

2 Januari 2019   11:35 Diperbarui: 2 Januari 2019   15:02 2718
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: https://nbasis.wordpress.com

Akhir November 2018, ruang publik hangat memperbincangkan kasus jual beli jabatan yang terjadi di daerah kabupaten Cirebon. Hal ini, karena KPK menangkap tangan Bupati Cirebon Sunjaya Purwadi Sastra karena diduga mematok setoran dalam mutasi jabatan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Cirebon. Patokan setoran untuk beragam mutasi jabatan (Kompas 30 November 2018).

Bukan Hal Baru
Praktek jual beli jabatan bukan lah barang baru dalam percaturan pemerintahan di Indonesia. Kita lihat saja beberapa tahun terakhir, peristiwa serupa banyak terjadi. Setidaknya ada tiga kepala daerah yang ditangkap KPK karena kasus jual beli jabatan. Pada 30 Desember 2016, KPK menangkap Bupati Klaten, Sri Hartini. 

Sri divonis 11 tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang. Salah satu kasusnya adalah jual beli jabatan yaitu mutasi dan promosi kepala sekolah SMP dan SMA, mutasi PNS di Setda Pemkab Klaten hingga pengisian jabatan di PDAM, rumah sakit, dan intansi terkait. 

Selanjutnya, pada Oktober 2017, KPK menetapkan Bupati Nganjuk, Taufiqurrahman sebagai tersangka untuk kasus jual beli jabatan terkait pengisian sejumlah posisi seperti kepala sekolah SD, SMP, dan SMA. Orang-orang yang akan menjabat posisi tertentu diharuskan untuk memberi uang kepada pejabat setempat. 

Lalu, pada Maret 2018, KPK juga menangkap Bupati Jombang sebagai tersangka kasus jual beli jabatan. Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko Nyono disuap oleh Plt Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang agar menetapkan Inna sebagai kepala Dinas Kesehatan Definitif. (Kompas). 

Tiga kasus tersebut merupakan contoh beberapa praktik yang terjadi selama 3 tahun ini. Namun masih banyak lagi kasus-kasus serupa lainnya yang terjadi di Indonesia. Sehingga tidak berlebihan jika kita sebut bahwa ini bukan praktek baru. Ini perlu menjadi perhatian kita bersama, kenapa prkatek-praktek yang serupa tersebut berulang dari tahun ke tahun seakan sudah menjadi tradisi dalam pemerintahan di Indonesia.

Patologi Birokrasi
Jual beli jabatan merupakan salah satu bentuk patology birokrasi alias penyakit birokrasi. Patologi adalah istilah ilmu kesehatan yang diadopsi kedalam pemerintahan untuk menggambarkan tentang penyakit-penyakit yang kerap berkembang dalam birokrasi. 

Ada banyak jenis patologi birokrasi yang dikenal seperti red-tape (proses yang berbelit-belit), penggemukan birokrasi, poliferasi (unit organisasi yang terlalu banyak), kemudian yang paling terkenal adalah Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN). Jual beli jabatan merupakan salah satu bentuk KKN yang berkembang di dalam birokrasi.

Patologi ini merusak sistem merit yang dikembangkan dalam birokrasi Indonesia. Indonesia telah menetapkan bahwa kebijakan dan manajemen SDM aparatur di Indonesia dilaksanakan dengan menggunakan sistem merit, yaitu berdasarkan kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar (Undang-Ungdang No. 4 tahun 2015 tentang ASN). Perpindahan, pengangkatan, maupun pengisian jabatan dalam pemerintahan merupakan bagian dari manajemen ASN yang seharusnya berdasarkan kompetensi dan kualifikasi. 

Seorang ASN diangkat untuk menduduki suatu jabatan didasari oleh faktor kompetensi, kemampuan, dan kinerjanya bukan atas dasar kemampuan dia membayar uang yang "dipatok" untuk jabatan tersebut. Sehingga agar tidak merusak dan melumpuhkan pemerintahan Indonesia ke depan, maka perlu dilakukan langkah-langkah pengobatan dan pencegahan dari sekarang.

Bijak dalam Memilih Pemimpin
Jika kita mau jujur, sedikit banyaknya kasus jual beli jabatan yang terjadi memiliki hubungan dengan pilihan kita sebagai masyarakat. Selain faktor sifat individu pejabat, jual beli jabatan yang kerap dilakukan oleh Kepala Daerah bisa dikatakan merupakan dampak dari "kecolongan" kita dalam memilih pimpinan. Kita telah gagal memilih pemimpin yang memiliki pemikiran untuk mensejahterakan masyarakat ketimbang memperkaya dirinya sendiri. 

Pemimpin yang "hobi" melakukan jual beli jabatan adalah potret pemimpin yang ingin memperkaya dirinya dengan kekuasaan yang dimilikinya. Sehingga, sedari awal seyogyanya kita memutuskan untuk tidak memilih pemimpin seperti itu.

 Bagaimana kita mengenalinya? Salah satunya dengan melihat apakah di dalam kampanye dia sering menggunakan politik uang? Atau dalam bentuk lain seperti makanan,barang, dsb. Jika benar, besar kemungkinan dia akan mempraktekkan cara yang sama ketika dia menduduki sebuah jabatan. Membisniskan kekuasaan dan jabatan.

Kita dari awal harus super ketat dalam memilih pemimpin. Toleransi untuk hal-hal menyimpang seperti politik uang dalam pemilu perlu dihilangkan. Sehingga ke depan, jika kita sebagai masyarakat melihat, mendengar atau bahkan menerima pemberian dari calon kepala daerah yang mengarah kepada politik uang, sudah selayaknya mereka langsung mencoret calon tersebut dari pilihan mereka. Karena itu bukan menandakan dia baik, tetapi malah sebaliknya. 

Ada indikasi dia membeli suara kita. Masyarakat harus percaya bahwa orang-orang yang menggunakan cara-cara tersebut disaat bersaing mendapatkan jabatan, maka mereka berpotensi besar untuk melakukan hal yang sama selama menjabat.

Revolusi Mental
Melihat kondisi tersebut, kita harus sepakat bahwa revolusi mental perlu lebih ekstra, intensif, dan holistik dilakukan. Jika pada Gerakan Revolusi Mental, kepala daerah seperti Gubernur, Bupati, dan Walikota lebih diposisikan sebagai pelaksana, maka ke depan, Kepala Daerah juga harus dijadikan objek Gerakan Revolusi Mental. 

Artinya Gerakan Revolusi mental melalui Gerakan Indonesia Melayani yang selama ini terkesan hanya diarahkan kepada ASN, maka ke depan perlu juga diarahkan kepada kepala daerah. Kepala daerah dengan kekuasaan yang dimilikinya memiliki potensi untuk disalahgunakan jika tidak memilki integritas yang kuat. Sehingga menjadi relevan dan krusial untuk melakukan revolusi mental terhadap para kepala daerah. Proses ini harus dilakukan secara konkret, intensif dan komprehensif, dan multistakeholder.

Momen Pemilukada 2018, dimana banyak daerah memiliki pemimpin baru, menjadi momen yang tepat bagi pemerintah pusat untuk mempersiapkan mental kepala daerah baru yang berintegritas. Pemerintah pusat perlu melaksanakan internalisasi kepada kepala daerah baru tersebut terkait revolusi mental melalui kegiatan konret yang mampu menjadikan kepala daerah menjadi figur yang memegang teguh integritas. 

Revolusi mental diawal jabatan merupakan upaya awal yang dapat dilakukan untuk menghilangkan mindset yang salah terkait kekuasaan. Sehingga praktek-prakek menyimpang seperti jual beli jabatan dapat dicegah dari awal.

Penulis:

Masrully

Pengamat Kebijakan Publik

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun