Nasib sisa-sisa kejayaan Sriwijaya di Palembang masih perlu mendapat perhatian serius. Faktanya, situs wisata sejarah peninggalan kerajaan tertua di Indonesia tersebut kurang menjadi objek pemeliharaan[1]. Kurang terurusnya situs yang meliputi prasasti, candi, dan bangunan bersejarah berikut dengan peninggalan kolonialisme Belanda di Palembang dapat ditemukan dalam banyak sisi. Tidak hanya faktor dari para pemangku kebijakan, masyarakat juga turut memiliki andil atas berlarut-larutnya permasalahan ini.
 Kondisi memprihatinkan situs wisata sejarah lokal cukup relevan dengan animo wisatawan di Palembang. Data memang menyebutkan ada peningkatan kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) yakni 1.041 wisman per November 2017[2]. Namun, peningkatan jumlah wisman tersebut tidak diikuti dengan peningkatan jumlah wisatawan lokal yang terhitung belum cukup banyak. Maka dari itu, untuk mencapai program kunjungan pada angka 200.000 wisatawan pada tahun 2018 diperlukan rencana yang strategis dengan agenda utama menyasar pada kepedulian wisatawan lokal, khususnya masyarakat Palembang, untuk melestarikan warisan sejarah lokal.
 Kepedulian terhadap kelestarian cagar budaya dapat diwujudkan dengan meningkatkan rasa memiliki (sense of belonging). Sikap tersebut ditujukan untuk meningkatkan kepedulian terhadap budaya milik bangsa sendiri. Banyak warisan sejarah lokal yang hingga kini masih diketahui di masyarakat dan banyak pula budaya yang masih dipraktikkan khususnya oleh orang-orang berusia senja. Namun, kecenderungan negatif diperlihatkan oleh anak-anak muda yang tidak lagi tertarik oleh meskipun sudah luntur di kalangan anak muda. Perlu upaya dari berbagai pihak untuk revitalisasi warisan sejarah lokal supaya tidak hilang ditelan zaman, salah satunya dengan mempraktikkan semangat ala Cenggat Agung.
 Refleksi Lunturnya Semangat Cenggat Agung
 Cenggat Agung merupakan salah satu dari sekian banyak warisan sejarah Sumatera Selatan. Cenggat Agung merupakan kesenian lagu dan tarian daerah yang berisi pesan-pesan untuk melestarikan warisan leluhur yang dahulunya cukup terkenal di Sumatera Selatan dan sekitarnya. Berkaca pada pesan-pesan yang ada pada budaya Cenggat Agung, masyarakat Palembang sudah semestinya sadar bahwa banyak di antara mereka yang telah melupakannya.
Indikasi pengabaian masyarakat lokal terhadap warisan sejarah yang ada ditandai dengan kurang optimalnya usaha memenuhi kebutuhan tumbuh dan berkembang[3]. Pemerintah Palembang selaku pemangku kebijakan belum sepenuhnya berdedikasi dalam pembenahan dan pembangunan cagar budaya. Sebanyak 365 cagar budaya warisan Kerajaan Sriwijaya belum didata oleh pemerintah setempat[4].
Beberapa peninggalan sejarah kolonialisme juga belum mendapatkan porsi perhatian dan pemeliharaan yang memadai, contohnya terkait keberadaan museum Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) II. Museum Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) II yang merupakan satu-satunya museum milik pemerintah Palembang menjadi saksi atas kurangnya atensi, baik dari pemerintah maupun masyarakat Palembang, terhadap cagar budaya.
Kondisi di tempat ini terbilang cukup memprihatinkan. Kayu dan sampah terlihat berserakan, beberapa ruangan mengalami kerusakan, ubin kayu lantai dua terasa lapuk dan goyah, atap bangunan berlubang, serta guci antik peninggalan kolonialisme Belanda digunakan sebagai tempat sampah[5]. Maka dari itu, tidak heran jika UNESCO menetapkan Palembang dalam daftar List of World Heritage in Danger[6]. Contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa semangat mulia yang terkandung dalam Cenggat Agung telah luntur oleh perilaku dan pola pikir masyarakat lokal sendiri.
Revitalisasi Tradisi Melalui Semangat  Cenggat Agung
Budaya Cenggat Agung telah menjadi warisan yang mendarah daging di masyarakat Sumatera Selatan. Jika disikapi secara serius, budaya tersebut dapat menjadi senjata ampuh untuk mempertahankan warisan budaya lokal. Upaya revitalisasi cagar budaya lokal dapat dilakukan dengan memahami dan mengkontekskan pesan-pesan yang termaktub dalam Cenggat Agung, baik pada level masyarakat maupun pemerintah.
Langkah pertama usaha revitalisasi budaya dengan melihat semangat ala Cenggat Agung dimulai dari optimalisasi peran pemerintah daerah dalam bidang wisata (khususnya wisata situs sejarah). Pemerintah sebagai otoritas pemegang kebijakan memiliki peran strategis dalam proses akuisisi, konservasi, dan promosi warisan sejarah dalam bentuk langkah yang lebih konkret. Bentuk nyata tindakan tersebut melalui mekanisme pengesahan kebijakan pemeliharaan situs cagar budaya, pengawasan, dan evaluasi secara berkala yang bertujuan untuk mengawal tercapainya target yang disasar.