Mohon tunggu...
Rulli Rachman
Rulli Rachman Mohon Tunggu... -

"talk with me about football, travelling, camping, books, coffee even engineering..."

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pertapa

15 Mei 2017   23:46 Diperbarui: 16 Mei 2017   00:01 516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
tenda mbah Fanani di Dieng (dokumen pribadi)

Foto diatas adalah tenda beratapkan terpal. Tenda ini bisa kita jumpai di Jl. Raya Dieng, sebelum jalan menuju kawasan Candi Arjuna. Konon kabarnya didalamnya tinggal seorang pertapa. Saya dapat cerita itu dari teman pada saat pertama kali berkunjung kesana.

 Katanya, pertapa itu adalah 1 dari 10 orang pertapa yang sedang berguru. Dimana ke-9 teman pertapanya itu? Ada yang bilang pergi laut, ada yang menetap di hutan dan menjelma menjadi harimau, ada yang naik ke gunung dan sebagainya. Bermacam-macam versi ceritanya, namanya juga cerita rakyat. Lalu bagaimana dengan si pertapa yang tinggal di tenda itu? Bagaimana dia hidup? Ternyata warga sekitar rutin memberikan dia makan. Ditaruh sepiring makanan didepan tendanya, lalu dia akan ambil dan kembalikan lg ke tempat semula bila telah selesai.

 Begitulah ceritanya. Saya tidak bisa memvalidasi cerita tersebut, pun belum sekalipun melihat orangnya. Yang pasti tenda tersebut masih berada dlm posisi yang sama dengan yang saya lihat pertama kali di tahun 2013. Lalu benarkah ada orang (manusia) yang bisa bertahan hidup spt itu? Bertapa, hidup sendirian, memutuskan dari urusan dunia...

 Dahulu, menempuh jalan suluk atau bertasawuf sering diidentikkan mirip dengan bertapa. Untuk mencapai ilmu yang hakiki, seseorang yang bersuluk harus melepaskan diri dari segala urusan duniawi. Berpakaian seadanya, bertapa hidup sendiri entah di gunung atau di hutan, mendekatkan diri kepada Yang Maha Esa. Awalnya saya juga menyangka demikian. Ternyata itu salah.

 Mendalami ilmu tasawuf justru bukan berarti meninggalkan dunia. Justru menerapkan ilmunya didalam kehidupan dunia ini. Bagaimana mengendalikan syahwat dan hawa nafsu, bagaimana untuk selalu mengingat-Nya disaat senang maupun susah, bersyukur selalu apapun keadaan yang dilimpahkan oleh-Nya dan sebagainya. Dan juga bagaimana menjalani misi hidup yang sedianya sudah diamanahkan kepada kita.
 Bagaimana seseorang bisa mencapai pengenalan yang hakiki kepada penciptanya tapi dengan melupakan hubungan dengan makhluk lain yang juga diciptakan oleh-NYA?

 Dikisahkan ada 2 orang yang berjalan kaki dari bagian timur Jawa sampai ke Banten, untuk menemui seorang guru.
 Sang guru bertanya, "mau apa kalian kesini?"
 Dijawab, "kami mau mencari Allah...".
 "Apakah kalian punya keluarga, istri dan anak ditempat asal kalian?"
 "Ada guru..."
 "Kalau begitu, pulanglah kalian masing-masing kerumah. Bekerjalah seperti biasa, nafkahi anak istri kalian. Kalau kalian seperti ini (meninggalkan mereka) justru kalian tidak akan bertemu Allah."

* ditulis di Surabaya, 27 Desember 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun