Kecintaan pada seseorang seharusnya bisa membuat kita menerima dengan legowo keputusan orang yang kita cintai. Apalagi kalau kita bisa mengetahui secara gamblang alasan dibalik keputusan besarnya itu. Walau kadang rasa cinta itu terlalu besar sehingga mampu menutupi rasionalitas dan objektifitas penilaian kita. Bahasa alay-nya, love makes you blind…
Kegilaan ini lah yang membuat saya masih menyimpan tanda tanya besar didalam benak saya soal keputusan Figo menyeberang ke ibukota Madrid. Walaupun demikian, rasanya saya tak ingin ikut-ikutan lempar botol kearah kepala si rambut klimis itu andaikan saya beruntung bisa berada di Nou Camp malam itu.
Tapi kecintaan juga yang akan mengalahkan segalanya, mengusir kebencian yang mungkin timbul.
Saya bisa menerima dan memahami alasan kepergian Batistuta ke AS Roma. Air matanya saat menjebol gawang Francesco Toldo pun saya haqqul yaqin bahwa itu bukan air mata buaya.
Toh Batistuta-lah yang telah mengajarkan kepada saya bahwa sepakbola itu sederhana. Cukup tendangan gawang dari Toldo kedepan yang akan disambut oleh Rui Costa, kemudian akan digiring olehnya sampai mendekati garis dalam pertahanan lawan dimana sudah menanti Batistuta dengan heading atau bisa juga dengan kakinya. Mencetak gol se-simpel itu, sesederhana itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H