Mohon tunggu...
Ruli Trisanti
Ruli Trisanti Mohon Tunggu... Guru - pengajar

pengajar yang ingin belajar

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Pentingnya Komunikasi Dua Arah dengan Anak

2 Oktober 2022   07:24 Diperbarui: 2 Oktober 2022   07:30 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

Tulisan ini sebenarnya bermula karena kejadian di tempat saya mengajar beberapa hari yang lalu. Awalnya saya berpikir, Kejadian itu sangat "lucu" dan "menggelitik". Ya, menggelitik saya untuk merenung dan mengambil pelajaran tentang perlunya membiasakan komunikasi dua arah antara kita, orang tua dengan anak. 

Perlunya untuk melatih mereka bersikap terbuka dengan kita. Barang kali penekanan ini hanya pantas untuk saya, yang mulai sok sibuk, hingga ketika anak saya mulai mendekat, secara otomatis "tunggu dulu!".

Begini peristiwanya.

Pada saat pergantian jam pelajaran, bunyi toa menggema di seluruh sudt ruang kelas, bersamaan itu terdengan suara Bu Nia, wali kelas 8C memanggil dua orang siswa. Awal mendengar dua nama itu terbersit keheranan di benak saya. "Ada apa dengan mereka?" ya, karena terbiasa kalau siswa dipanggil melalui pengeras suara, biasanya ada kejadian buruk. 

Misalnya berkelahi, bolos di tengeh jam pelajaran. Sedangkan sejauh saya bergaul dengan kelas 8C saat pembelajaran yang saya ampu, dua nama siswa itu bukan termasuk siswa yang bermasalah hingga wali kelasnya turun tangan. Karena saat itu waktu saya luang, ikut nimbrung juga dalam introgasi. Eh, diskusi, maksudnya. 

"Loh, Dika, Wido, kok di sini?" saya bertanya mencoba melunakkan berbincangan. Terlihat mereka agak tegang, sedangan Bu Nia sedang mengintrogasi sambil menunjuk selembar kertas bergambar, tidak terlalu jelas gambarnya.

Bu Nia menjelaskan sambil menunjukkan gambar itu. "Dika dan wido menggambar ini waktu pelajaran PKn. Gambar ini, tadi Pak Joni yang memberikan ke saya"

Saya amati gambar dalam kertas yang sudah kumal itu. dari jauh tampak seperti coretan tidak jelas. Setelah saya perhatikan ternyata kertas kumal itu beisi sketsa ala kadarnya dari seorang anak laki-laki yang ingin mendeskripsika mimpi absurd-nya semalam. saya perhatikan detailnya. 

Kurang lebih ada gambar kelamin laki-laki  dan sebuah lingkaran bertuliskan 'telur'. Terdapat tanda panah penghubung di antara keduanya. Lalu ada juga tulisan-tulisan nama atau istilah lokal gambar-bambar itu.

Melihat gambar itu sebenarnya saya ingin tertawa. Tetapi ada juga kegelisahan." Apa mereka pernah membuka situs porno?" , pikir saya.

Dika dengan mata beloknya mengulang ceritanya. "Dika yang gambar itu, Bu. Dak tahu lah, kenapa Dika semalam mimpi itu?" Mendengar pembuka cerita Dika, saya lebih tergelitik lagi. "Oalaaaah.....kamu mimpi basah, Dika?" saya bertanya sambil menahan tawa. 

"Iya, Bu. Baru sekali ini Dika mimpi gitu, kenapa, ya, Bu?" Kembali Dika bercerita.

Saya dan Bu Nia berpandangan satu sama lain. "Kenapa harus kamu gambar-gambar gini? terus pas pelajaran PKn. Pak Joni pikir kalian menggambar porno" cercah Bu Nia.

Di sini saya bukan sedang mau jadi pahlawan bagi dua bocah tanggung itu. Hanya saja, seperti yang saya sampaikan di awal, bahwa mereka buka tergolong siswa yang menimbulkan masalah. Sebaliknya, mereka termasuk siswa yang sopan. Bahkan, dari cerita Dika saya percaya bahwa dia adalah anak jujur dan perlu penjelasan. Saya merangkul bahu Dika. "Artinya Dika sudah dewasa"

Saya pandang wajah Bu Nia sambil tersenyum. "Ini, karena mereka masih polos, Bu"

Dari peristiwa itu, saya mengambil pelajaran. Apakah saya sudah dekat dengan anak laki-laki saya, sehingga dia berani bertanya dan berdiskusi atas perubahan yang dialaminya?

Dika Lebih memilih menceritakan mimpi basahnya, pada teman sekelasnya melalui gambar-gambar yang mengesankan porno. Padahal,seorang laki-laki memulai kedewasaannya ketika  pertama kali mimpi basah. Seharusnya orang tuanya lah yang pertama kali tahu.

"Tadi pagi setelah Dika bermimpi, dika sudah madi hadas, belum?"

"Belum, Bu. Karena Dika dak Tahu" Jawabnya tetap dengan mata belok penuh kepolosan.

sambil menahan tawa saya jelaskan padanya tentang kewajiban muslim ketika dia berhadas, termasuk setelah bermimpi basah. Tak lupa saya juga menjelaskan konsekuensi seorang laki-laki yang sudah bermimpi basah. Lalu kututup dengan berpesan padanya "lain kali Dika lebih baik bercerita pada mama atau ayah Dika sendiri, dari pada cerita pada Wido" Masih dengan gestur polosnya, Dika menjawab "Iya, Bu. Memanya dak papa, ya, cerita ke orang tua?"

Dika....Dika....

Namun, itu lah kejadiannya. Mungkin Dika malu bercerita pada orang tuanya. Perasaan malu, bahkan ketertutupan seorang anak dapat dipicu oleh beberapa hal, misalnya:

  • Tertutupnya ruang diskusi antara orang tua dan anak.
  • Orang tua menganggap masalah anak hanya seputar duania main-main yang bisa anak selesaikan sendiri.
  • Orang tua sering memotong pembicaraan anak, sehingga anak tidak perca diri untuk terbuka mengenai masalah yang mereka hadapi
  • anggapan bahwa masalah yang ''tabu'' tidak pantas dibicarakan atau didiskusikan di ruang keluarga.

Belajar dari peristiwa Dika dan Wido, saya mulai berpikir, bagaimana kalau anak sepolos itu tiba-tiba membawa cerita yang lebih berat sedang untuk menceritakan awal kedewasaannya dia malu. misalnya "Ma, Yuka nunjukin foto test pack. Katanya dia hamil sama Dika" Saya membayangkan kehancuran sang ibu, tapi mau bagaimana lagi, selama ini kemana saja kita, para orang tua?

Mungkin ini perasaan saya saja. Setidaknya, dari peristiwa itu saya mengharuskan diri sendiri untuk tenang mendengarkan celoteh anak, di antara keriwehan hidup ini. Bukankah anak laki-laki kita calon pemimpin di masa depan? maka semua bergantung pada apa yang kita siapkan sekarang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun