Mohon tunggu...
Ruli Mustafa
Ruli Mustafa Mohon Tunggu... wiraswasta -

THE TWINSPRIME GROUP- Founder\r\n"Jangan lihat siapa yang menyampaikan, tapi lihat apa yang disampaikannya" (Ali bin Abi Thalib ra). E-mail : hrulimustafa@gmail.com. Ph.0818172185. Cilegon Banten INDONESIA

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Langkanya Teladan dan Fenomena Sok Jago

1 November 2018   07:52 Diperbarui: 1 November 2018   07:56 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Negeri ini hari hari ini sedang dalam kondisi penuh keprihatinan karena rangkaian musibah ; dari mulai gempa bumi, likuifaksi, tsunami, banjir bandang, hingga yang terbaru musibah kecelakaan pesawat. Tetapi suasana riuh rendah diantara kelompok kelompok kepentingan bukannya mereda demi menunjukkan kepedulian, empati serta sense of crisis, tapi malah kian menjadi jadi. 

Fakta bahwa masyarakat kini terbelah akibat pendidikan politik yang salah kaprah tercermin dari tergerusnya adab, langkanya etika dalam konektivitas sosial, khususnya di media sosial. Saling bersahut sahutan dan terjebak kedalam perdebatan kosong semakin sering kita saksikan berlangsung di media sosial. 

Sedikit ada perbedaan pendapat langsung dihujani dengan saling adu komentar negatif hingga adu massa, ancam mengancam lengkap dengan tayangan video sok jago di youtube hingga beredar pula di grup grup whatsapp. 

Harusnya semua pihak bisa menahan diri, introspeksi dan ngga perlulah sok jagoan saling serang dan tantang di medsos sekadar berebut pepesan kosong atau ingin disebut hebat ? hebat dari hongkong ! 

Akhirnya instrumen sosial hanya digunakan sebagai sarana kebodohan dan pembodohan masyarakat belaka. Ada sediaan teknologi bukannya tambah pintar malah tambah tidak beradab, kasihan sekali, mungkin inilah salahsatu bentuk mendustakan nikmat nikmat ALLAH, Naudzubillah.

Ironisnya, kaum terdidik, alih alih ingin menjelaskan masalah, akhirnya ikut pula terjun kedalamnya dan masuk dalam perangkap psy-war yang kadang tak jelas ujung pangkal masalahnya. 

Sebaran hoax, eskalasi nafsu kekuasaan hingga mainan para oknum pemilik media yang mencari keuntungan dari aneka isu konflik melebur jadi satu, amburadul! 

Alangkah lebih baik bila energi semua pihak dipakai untuk bantu sesama saudaranya yang kini tengah dirundung kesedihan karena musibah, atau kalau ngga bisa berkontribusi tenaga, pikiran dan materi, setidaknya bersikaplah tawadhu, jaga ketenangan serta perbanyak do'a untuk saudara kita sebangsa dan setanah air,  silent is golden.

Di sisi lain, para pemimpin politik juga seharusnya jadi garda terdepan dalam menciptakan iklim sosial politik yang kondusif demi keselamatan kita bersama, harus lebih kuat menahan diri dan harus punya kemampuan dalam manajemen konflik dan literasi digital, bukan malah ikut ikutan memperkeruh suasana. Para elit sejatinya berikan keteladanan bukan provokasi politik murahan yang justru bertendensi memecah belah bangsa. 

Masyarakat tidak perlu tergiring oleh perang propaganda yang menyesatkan. Lebih baik baku manfaat, sebaik baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya. 

Kalau tak ada manfaatnya buat apa juga hidup. Selanjutnya, harus terus diingatkan soal potensi konflik sektarian hingga disintegrasi bangsa akibat sikap merasa benar sendiri serta mau menang sendiri diantara sesama anak bangsa, naif sekali. 

Jangan sampai negeri ini menjadi ladang adu domba dan perang proxy bangsa bangsa lain yang punya kepentingan geopolitik dan ekonomi jangka panjang mereka di bumi nusantara ini. 

Para pemimpin, para calon pemimpin, para elit hingga kaum akademisi harus lebih proaktif melakukan pembenahan kedalam, utamanya soal keteladanan hingga andil terhadap pendidikan politik yang mencerahkan serta mencerdaskan masyarakat. 

Jangan lagi terjebak kedalam pola pola konflik lama yang sangat merugikan kondisi bangsa dan negara ini. Kalau mau berdemokrasi ya gunakanlah cara cara sehat, elegan dan beretika, bukan kampungan. 

Bila mengakui Pancasila sebagai dasar negara dan menerima sila pertama itu adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka lekatkanlah semua perilaku manusianya pada prioritas mental berketuhanan, bukan seperti perilaku orang yang tidak punya agama!

Semoga kedepan dan selanjutnya ALLAH Ta'ala melindungi serta merahmati kita, memberikan hidayahNya serta menjadikan kita bangsa yang beradab dan menjauhkan kita dari segala bencana. (*)

Aamiin ya Robbal alamiin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun