Negeri Gerombolan bertetangga dengan negeri Antah Berantah. Di negeri gerombolan, penduduknya senang bergerombol, Â kalau ada sesuatu yang lagi trendi, rakyatnya sukahati, lalu berangkat beramai ramai, bergerombol disana, bergerombol disini, berteriak histeris kesana kemari untuk sesuatu yang ngga penting penting amat, bangga hati dengan gerombolannya masing masing, ngga jelas.
Di negeri gerombolan hanya sedikit penduduknya yang bertahan dengan semangat kemandirian dan keukeuh dengan prinsip. Faktanya lebih banyak yang ikuti arus, soal harga diri sudah mirip harga barang di pasar dan transaksi dagang sapi.
Di pasar gerombolan, jarang ada ikan salmon, yang ada ikan teri dan ikan sapu sapu, juga ikan hiu yang sering tertangkap dalam ots, operasi tangkap sirip, lumut dan parasit juga banyak. Di negeri gerombolan, idealisme warganya bisa lenyap seketika karena uang dan jabatan, bahkan oleh sebab satu dua bungkus mie instan, boleh jadi ini akibat lambung lambung yang kosong atau karena otak yang memang  tamak akut.
Rasa malu bisa hilang tiba tiba karena lapar harta atau syahwat berkuasa. Ironisnya, anggota gerombolan bisa pindah ke lain hati dalam hitungan hari. Pragmatis dan terima jadi itu sudah jadi tradisi, jadi jangan kaget kalau ada yang bisa ujug ujug loncat ke anjungan gerombolan lain karena alasan klasik ; berjuang bisa dimana saja, kapan saja, siapa saja, mirip iklan sebuah produk minuman ringan, tapi lakonnya masih teteup seperti minyak dan air, ngga bisa kompak seperti upin dan ipin.
Pengkhianatan dianggap biasa, kemunafikan jadi makanan hari hari, yang berbeda dianggap aneh dan dibully. Ngga peduli dengan bias konfirmasi dan jebakan berita hoax, yang penting "ngelike" bila sosok berhalanya dianggap merepresentasikan napsu angkara dan beropini menjatuhkan kiprah gerombolan lain, hatinya senang bila sangkaannya di iyakan, dan puas dengan kekerasan verbal.
Penduduk negeri gerombolan senang dengan yang heboh heboh, bangga dengan yang viral viral, lebih pilih yang serba instan daripada pergi berjuang dengan keringat dan airmata. Lebih sibuk dengan kemeriahan dan konsumerisme, kalau soal pemasukan, gimana nanti, biar tekor asal sohor.
Harta dan tahta  jadi ukuran kesuksesan, tidak pernah peduli dengan cara apa dan darimana diperolehnya. Pendudukya juga senang menjadikan tontonan sebagai tuntunan dan sebaliknya menjadikan tuntunan sekedar tontonan.
Peringatan ditertawakan, musibah dijadikan candaan. Intelektualitas diabaikan, kedustaan dianggap angin lalu. Disana smartphone tak jadi instrumen komunikasi yang bikin smart, tapi asal bunyi, asal ikut, asal rame dan asal tahu.
Di negeri gerombolan orang senang dengan tiru meniru sesuatu yang keliru, tak tahu lagi mana yang benar mana yang salah, jangan lagi bicara soal nalar, karena itu sudah lama tumpul akibat gegap gempita kemajuan teknologi informasi.
Tokoh Idola sudah lama jadi berhala, prinsipnya yang penting ikut ikon dan kecenderungan musim, ada angin barat pergi ke barat, ada angin timur pergi ke timur. Disana, kalau hari ini ada orang disanjung setinggi gunung maka siap siaplah besok atau lusa dia dibuang ke pinggir jurang.
Di negeri gerombolan, warganya sering berisik, baper dan berhalusinasi, paranoid dengan perubahan dan perbedaan, temperamennya seperti rumput kering, mudah dibakar. Namanya juga gerombolan, sulit diikat dengan satu kepentingan, sulit bersama dalam satu tujuan, yang ada kami dan kamu itu berbeda gerombolan, beda juga kepentingan, tidak ada kita. Mengapa bisa begitu ?
Ya karena yang diviralkan adalah para figur sentral yang senang juga bergerombol dengan perangkat simulacra serta kepentingannya masing masing. Rakyatnya hanya ikut arus, copy cat dan copy paste, namanya juga gerombolan, yang biasa dengan hiburan murah meriah bertema gibah bermutu rendah yang semakin mewabah. Kebodohan dibiarkan, kepintaran dicurigai, kreativitas di interupsi, hak asasi di intervensi.
Andai anda yang menjadi penduduk negeri gerombolan, pastikan posisi anda ada di gerombolan mana, tapi jangan coba coba bawa atribut gerombolan tertentu di jalanan, bisa bisa anda dipersekusi oleh gerombolan lain. Ada juga pilihan menjadi warga gerombolan baru, yang ngga ikut tren, mungkin lebih aman dari persekusi dan vigilante, tapi siap siaplah untuk diisolasi, dicela dan dimaki.
Ah sudahlah...semua ini hanyalah ilusi, cerita fiksi dari negeri dongeng pengantar tidur buat kaum gerombolan (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H