Mohon tunggu...
Ruli Andreansyah
Ruli Andreansyah Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Staf

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Penyelesaian sengketa konsumen dalam jual beli online

2 Januari 2025   14:25 Diperbarui: 2 Januari 2025   14:22 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam Jual Beli Online

Ermelinda Desinta Ririanti, Ruli Andreansyah, Anzas Yusrival, Triasih, Yaya Soraya Warhangan, Zahra Salsabilla, Atmo Haryanto

Abstrak

Penelitian ini membahas penyelesaian sengketa konsumen dalam transaksi jual beli online di Indonesia, yang semakin marak seiring dengan perkembangan teknologi digital. Fokus utama penelitian ini adalah mengidentifikasi penyebab sengketa, menganalisis mekanisme penyelesaian sengketa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta mengevaluasi efektivitas jalur litigasi dan non-litigasi dalam melindungi hak konsumen. Dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif berbasis studi kepustakaan, penelitian ini menemukan bahwa kurangnya transparansi informasi, penipuan, dan ketidaksesuaian produk menjadi penyebab utama sengketa. Penyelesaian melalui jalur non-litigasi, seperti mediasi dan arbitrase, lebih efektif dibandingkan litigasi karena lebih cepat dan efisien. Solusi yang diusulkan meliputi penguatan regulasi, peningkatan peran platform e-commerce, edukasi konsumen, dan kolaborasi lintas sektor untuk menciptakan ekosistem perdagangan online yang adil dan aman.

Kata kunci: Penyelesaian Sengketa Konsumen, Jual Beli Online, Perlindungan Konsumen

Abstract

This study examines consumer dispute resolution in online buying and selling transactions in Indonesia, which has become increasingly prevalent with the growth of digital technology. The primary focus of this research is to identify the causes of disputes, analyze dispute resolution mechanisms based on prevailing laws and regulations, and evaluate the effectiveness of litigation and non-litigation processes in protecting consumer rights. Using a normative legal research method based on a literature review, the study finds that a lack of information transparency, fraud, and product non-conformity are the main causes of disputes. Non-litigation methods, such as mediation and arbitration, are found to be more effective than litigation due to their speed and efficiency. Proposed solutions include strengthening regulations, enhancing the role of e-commerce platforms, educating consumers, and fostering cross-sector collaboration to create a fair and secure online trading ecosystem.

Keywords: Consumer Dispute Resolution, Online Buying and Selling, Consumer Protection

Pendahuluan

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah membawa perubahan signifikan dalam pola transaksi masyarakat, khususnya dalam aktivitas jual beli. Salah satu bentuk perubahan tersebut adalah maraknya jual beli secara online atau e-commerce yang semakin diminati oleh masyarakat. Transaksi jual beli online menawarkan kemudahan, efisiensi waktu, dan akses yang luas, sehingga menjadi pilihan utama di era digital. Namun, di balik berbagai keunggulan tersebut, jual beli online juga berpotensi menimbulkan berbagai permasalahan yang sering berujung pada sengketa antara konsumen dan pelaku usaha.

Sengketa konsumen dalam transaksi jual beli online kerap terjadi karena beberapa faktor, seperti barang yang tidak sesuai dengan deskripsi, pengiriman yang terlambat, penipuan, serta kesulitan dalam pengembalian barang atau pengembalian uang. Permasalahan ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan posisi antara konsumen sebagai pihak yang lebih lemah dengan pelaku usaha yang memiliki kekuatan lebih dalam transaksi. Oleh karena itu, diperlukan suatu mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif dan mampu memberikan perlindungan hukum kepada konsumen yang dirugikan.

Dalam konteks hukum Indonesia, perlindungan konsumen diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Selain itu, terdapat peraturan lain yang berkaitan dengan transaksi elektronik, seperti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan perubahannya. Namun, dalam praktiknya, masih banyak kendala dalam implementasi peraturan tersebut untuk menyelesaikan sengketa konsumen dalam jual beli online. Konsumen seringkali menghadapi hambatan akses keadilan, baik karena keterbatasan informasi, biaya penyelesaian sengketa, maupun prosedur hukum yang rumit.

Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk menyelesaikan sengketa konsumen dalam jual beli online adalah melalui Alternative Dispute Resolution (ADR) atau penyelesaian sengketa di luar pengadilan, seperti mediasi, konsiliasi, dan arbitrase.

Selain ADR, mekanisme pengaduan melalui lembaga perlindungan konsumen dan pemanfaatan platform e-commerce untuk fasilitasi penyelesaian sengketa juga menjadi pilihan yang dapat dioptimalkan. Dengan adanya berbagai opsi ini, diharapkan penyelesaian sengketa dapat lebih cepat, murah, dan efektif bagi konsumen yang merasa dirugikan.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan library research atau studi kepustakaan. Penelitian normatif dilakukan dengan menganalisis bahan-bahan hukum yang relevan, baik berupa peraturan perundang-undangan, doktrin, jurnal, serta putusan pengadilan yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa konsumen dalam jual beli online. Bahan hukum primer yang digunakan meliputi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik beserta perubahannya. Selain itu, penelitian ini juga mengacu pada bahan hukum sekunder berupa buku-buku, artikel ilmiah, dan pendapat para ahli hukum yang membahas isu perlindungan konsumen dan penyelesaian sengketa.

Melalui pendekatan ini, penelitian bertujuan untuk menggali prinsip-prinsip hukum yang berlaku, menganalisis efektivitas regulasi yang ada, serta menawarkan solusi hukum yang dapat digunakan dalam penyelesaian sengketa konsumen di era digital.

Pembahasan

1.Apa saja penyebab terjadinya sengketa konsumen dalam transaksi jual beli online?

Sengketa konsumen dalam transaksi jual beli online seringkali terjadi akibat beberapa faktor, baik dari sisi pelaku usaha maupun dari konsumen itu sendiri. Salah satu penyebab utamanya adalah ketidaksesuaian barang yang diterima oleh konsumen dengan deskripsi yang ditampilkan di platform jual beli online. Hal ini meliputi perbedaan ukuran, warna, kualitas, ataupun spesifikasi yang tidak sesuai dengan informasi yang diberikan oleh penjual. Konsumen yang merasa dirugikan kemudian sering kali menghadapi kesulitan dalam meminta pertanggungjawaban penjual karena jarak geografis yang jauh dan keterbatasan komunikasi.

Faktor kedua adalah penipuan atau fraud yang dilakukan oleh penjual. Dalam praktiknya, ada banyak oknum yang memanfaatkan transaksi online untuk menipu konsumen, seperti menjual barang yang tidak pernah dikirim atau menjanjikan produk berkualitas tinggi tetapi memberikan barang palsu atau berkualitas rendah. Penipuan ini kerap terjadi di platform jual beli yang kurang memiliki sistem pengawasan ketat. Faktor ini menambah kompleksitas sengketa karena konsumen sulit untuk melacak identitas pelaku usaha yang tidak jelas.

Penyebab selanjutnya adalah kesalahan pengiriman barang, baik berupa keterlambatan pengiriman maupun pengiriman yang salah. Dalam sistem jual beli online, pengiriman dilakukan oleh pihak ketiga seperti jasa ekspedisi, sehingga seringkali terjadi permasalahan pada tahap ini. Keterlambatan yang signifikan atau kerusakan barang saat proses pengiriman dapat menimbulkan kerugian bagi konsumen. Namun, sengketa ini sering kali tidak memiliki pihak yang jelas untuk dimintai pertanggungjawaban, sehingga konsumen kebingungan.

Selain itu, keterbatasan transparansi informasi dari penjual juga menjadi penyebab sengketa. Beberapa pelaku usaha seringkali tidak menyampaikan informasi yang lengkap dan jujur mengenai produk yang dijual, termasuk kebijakan pengembalian atau garansi barang. Hal ini membuat konsumen merasa tertipu setelah menerima produk. Konsumen juga seringkali tidak memahami syarat dan ketentuan transaksi yang berlaku sehingga kesalahpahaman antara penjual dan pembeli sulit dihindari.

Faktor lain adalah ketidakjelasan kebijakan pengembalian dana (refund) dan pengembalian barang (return). Dalam jual beli online, kebijakan ini menjadi aspek penting untuk melindungi konsumen jika terjadi masalah.

Namun, banyak platform atau penjual yang tidak menyediakan kebijakan tersebut atau justru mempersulit proses pengembalian barang. Hal ini menimbulkan frustrasi bagi konsumen yang ingin menuntut haknya, terutama jika produk yang diterima rusak atau tidak sesuai.

Tidak hanya dari sisi pelaku usaha, konsumen yang kurang berhati-hati juga sering menjadi penyebab sengketa. Banyak konsumen yang tidak membaca deskripsi produk secara rinci atau tidak memeriksa reputasi penjual sebelum melakukan transaksi. Selain itu, konsumen yang melakukan pembayaran di luar sistem platform e-commerce resmi sering kali menjadi korban penipuan karena tidak ada mekanisme perlindungan transaksi. Hal ini menunjukkan bahwa edukasi kepada konsumen juga perlu ditingkatkan.

Terakhir, kelemahan regulasi dan penegakan hukum turut memperparah munculnya sengketa konsumen. Meskipun sudah ada peraturan seperti Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan UU ITE, implementasi dan penegakan hukum masih belum optimal. Banyak konsumen yang merasa enggan untuk membawa masalah mereka ke jalur hukum karena prosedur yang rumit, biaya tinggi, dan waktu penyelesaian yang lama.

Hal ini menyebabkan konsumen memilih untuk pasrah terhadap kerugian yang mereka alami, yang pada akhirnya memperparah ketidakadilan dalam transaksi online.

2.Bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa konsumen dalam jual beli online menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia?

Dalam hukum Indonesia, penyelesaian sengketa konsumen dalam jual beli online diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Berdasarkan ketentuan tersebut, sengketa konsumen dapat diselesaikan melalui dua mekanisme, yaitu jalur litigasi (pengadilan) dan non-litigasi (di luar pengadilan). Jalur litigasi dilakukan melalui pengadilan negeri atau pengadilan khusus seperti Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Sementara itu, jalur non-litigasi dapat berupa mediasi, arbitrase, atau konsiliasi.

Mekanisme litigasi melalui pengadilan negeri memungkinkan konsumen untuk mengajukan gugatan terhadap pelaku usaha yang dianggap merugikan. Prosedur ini diatur sesuai dengan hukum acara perdata yang berlaku. Namun, dalam praktiknya, mekanisme litigasi sering dianggap tidak efisien karena memakan waktu yang lama dan biaya yang besar. Sebagai alternatif, konsumen dapat mengajukan gugatan ke BPSK, yang secara khusus dibentuk untuk menangani sengketa konsumen. BPSK memiliki kewenangan untuk memfasilitasi penyelesaian sengketa dengan cepat, mudah, dan murah.

Selain itu, penyelesaian sengketa juga dapat dilakukan melalui jalur non-litigasi, seperti mediasi atau arbitrase. Mediasi melibatkan pihak ketiga netral yang membantu para pihak mencapai kesepakatan secara damai. Sedangkan arbitrase memungkinkan sengketa diselesaikan melalui keputusan arbiter yang bersifat final dan mengikat. Jalur ini dinilai lebih efisien dibandingkan litigasi karena prosesnya lebih cepat dan informal. Beberapa platform e-commerce juga menyediakan layanan penyelesaian sengketa internal melalui mekanisme pengaduan konsumen yang difasilitasi oleh pihak platform.

Undang-Undang ITE juga menekankan pentingnya penyelesaian sengketa dalam transaksi elektronik. Dalam Pasal 18 ayat (4), disebutkan bahwa sengketa yang timbul akibat transaksi elektronik dapat diselesaikan melalui mekanisme arbitrase atau lembaga penyelesaian sengketa lainnya yang ditentukan oleh para pihak. Hal ini memberikan fleksibilitas bagi konsumen dan pelaku usaha untuk memilih jalur penyelesaian yang paling efektif.

Selain itu, peran lembaga perlindungan konsumen seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) juga penting dalam membantu konsumen menyelesaikan sengketa. Lembaga ini dapat memberikan advokasi dan pendampingan hukum kepada konsumen yang merasa dirugikan. YLKI sering menjadi mediator antara konsumen dan pelaku usaha untuk mencapai solusi yang adil dan saling menguntungkan. Dalam konteks jual beli online, beberapa platform e-commerce besar juga menerapkan fitur perlindungan konsumen sebagai bagian dari mekanisme penyelesaian sengketa. Misalnya, terdapat kebijakan pengembalian barang atau pengembalian dana (refund) yang diawasi oleh pihak platform. Konsumen dapat mengajukan komplain langsung melalui sistem yang disediakan, dan jika terbukti valid, platform dapat menjatuhkan sanksi kepada penjual atau memfasilitasi pengembalian dana.

Mekanisme penyelesaian sengketa dalam jual beli online ini mencerminkan adanya upaya pemerintah dan pihak swasta untuk melindungi konsumen. Meskipun demikian, efektivitasnya masih perlu ditingkatkan, terutama dalam hal aksesibilitas, penegakan hukum, dan edukasi kepada konsumen agar mereka memahami hak dan kewajiban dalam transaksi elektronik.

3.Sejauh mana efektivitas penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi dan non-litigasi dalam melindungi konsumen yang dirugikan?

Efektivitas penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi dan non-litigasi dalam jual beli online perlu dievaluasi dari berbagai aspek, seperti waktu, biaya, aksesibilitas, dan kepuasan pihak yang bersengketa. Jalur litigasi melalui pengadilan negeri atau Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) sering kali dianggap kurang efektif karena prosedurnya yang memakan waktu lama dan biaya yang cukup besar. Selain itu, prosedur di pengadilan negeri seringkali dianggap rumit oleh konsumen yang tidak memiliki pemahaman hukum yang memadai. Hal ini menyebabkan banyak konsumen yang akhirnya enggan menempuh jalur litigasi untuk menuntut haknya meskipun mengalami kerugian yang signifikan.

Sementara itu, jalur litigasi melalui BPSK memiliki potensi yang lebih efektif dibandingkan pengadilan negeri. BPSK dirancang untuk menyelesaikan sengketa konsumen dengan cepat, murah, dan tidak berbelit-belit. BPSK memiliki kewenangan untuk memediasi, mengkonsiliasi, atau memutus sengketa konsumen. Namun, tantangan yang dihadapi BPSK adalah keterbatasan sumber daya manusia, minimnya sosialisasi keberadaannya, serta belum meratanya kehadiran BPSK di seluruh daerah di Indonesia. Hal ini menyebabkan tidak semua konsumen memiliki akses untuk menyelesaikan sengketa melalui BPSK.

Di sisi lain, penyelesaian sengketa melalui jalur non-litigasi seperti mediasi, konsiliasi, dan arbitrase dinilai lebih efektif dan efisien dalam konteks jual beli online. Mekanisme ini memungkinkan penyelesaian sengketa dilakukan dengan lebih cepat dan informal, sehingga lebih cocok untuk menangani sengketa konsumen yang nilainya relatif kecil.

Selain itu, beberapa platform e-commerce besar telah menyediakan fitur penyelesaian sengketa internal melalui sistem pengaduan konsumen. Konsumen dapat mengajukan komplain secara langsung kepada pihak platform, yang kemudian memfasilitasi negosiasi antara konsumen dan penjual untuk mencapai kesepakatan.

Arbitrase juga menjadi alternatif yang efektif untuk menyelesaikan sengketa konsumen, terutama bagi konsumen yang ingin mendapatkan putusan final dan mengikat. Namun, mekanisme ini masih jarang digunakan oleh konsumen karena kurangnya pemahaman tentang prosedur arbitrase dan biaya yang terkadang lebih tinggi dibandingkan mediasi. Di sisi lain, mediasi merupakan jalur yang paling banyak digunakan dalam konteks non-litigasi karena sifatnya yang fleksibel dan biayanya yang relatif murah.

Pihak ketiga yang netral membantu konsumen dan pelaku usaha mencapai solusi yang saling menguntungkan. Meskipun jalur non-litigasi lebih efektif dalam praktiknya, ada beberapa kendala yang perlu diatasi. Salah satunya adalah minimnya pemahaman konsumen tentang hak dan kewajiban mereka serta mekanisme penyelesaian sengketa yang tersedia. Selain itu, belum semua platform e-commerce memiliki sistem pengaduan yang transparan dan efektif, sehingga menyulitkan konsumen untuk mendapatkan keadilan. Dalam hal ini, peran pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen sangat penting untuk meningkatkan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat.

Selain itu, efektivitas penyelesaian sengketa juga bergantung pada kepatuhan pelaku usaha terhadap keputusan yang dihasilkan dari proses litigasi maupun non-litigasi. Meskipun BPSK atau platform e-commerce telah memutuskan penyelesaian sengketa yang menguntungkan konsumen, masih ada pelaku usaha yang tidak mematuhi putusan tersebut. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan di pihak konsumen dan memperburuk kepercayaan terhadap sistem penyelesaian sengketa yang ada.

4.Apa solusi yang dapat diimplementasikan untuk meningkatkan perlindungan konsumen dalam jual beli online agar sengketa dapat diminimalisir?

Undang-undang No 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa, Pasal 1butir 10 menyebutkan bahwa Alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui perosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian diluar pengadilan dengan cara konsultasi, negoisasi, mediasi konsiliasi, atau penilaian ahli. Sejalan dengan itu dalam menyelesaikan sengketa konsumen Undang-undang No, 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen Pasal 45 menyebutkan sebagai berikut:

a.Setiap Konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan seengketa antara konsumen dan pelaku usaha.

b.Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau luar pengadilan

c.Penyelesaian berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.

d.Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat 2(dua) tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang.

e.Apabila telah dipilih upaya penyeesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.

Untuk meningkatkan perlindungan konsumen dalam jual beli online dan meminimalisir sengketa, salah satu solusi yang dapat diimplementasikan adalah penguatan regulasi dan penegakan hukum. Pemerintah perlu memperbarui dan menyempurnakan peraturan yang ada, seperti UU Perlindungan Konsumen dan UU ITE, agar lebih spesifik dalam mengatur transaksi jual beli online. Selain itu, perlu ada mekanisme yang tegas untuk memastikan pelaku usaha mematuhi kewajibannya, seperti memberikan informasi yang jujur, transparan, dan akurat tentang produk yang dijual. Penegakan hukum yang lebih ketat juga diperlukan untuk memberikan efek jera kepada oknum yang melakukan penipuan atau pelanggaran lainnya.

Solusi kedua adalah peningkatan peran platform e-commerce dalam melindungi konsumen. Platform e-commerce harus memiliki kebijakan yang jelas terkait pengembalian barang (return) dan pengembalian dana (refund) jika terjadi permasalahan dalam transaksi. Selain itu, fitur penyelesaian sengketa internal yang mudah diakses dan transparan harus ditingkatkan. Platform juga perlu melakukan verifikasi ketat terhadap penjual untuk mencegah adanya oknum yang melakukan penipuan. Kebijakan sanksi tegas bagi penjual yang melanggar ketentuan harus diterapkan agar konsumen merasa lebih aman.

Selain itu, edukasi kepada konsumen menjadi langkah penting untuk meminimalisir sengketa. Konsumen harus diberikan pemahaman tentang hak dan kewajibannya dalam transaksi online, termasuk cara memilih penjual terpercaya, membaca deskripsi produk secara teliti, dan memahami kebijakan pengembalian barang.

Edukasi ini dapat dilakukan melalui sosialisasi oleh pemerintah, lembaga perlindungan konsumen, maupun platform e-commerce itu sendiri. Dengan meningkatnya kesadaran konsumen, potensi terjadinya sengketa akibat kesalahan konsumen dapat diminimalisir.

Solusi lainnya adalah penguatan peran lembaga perlindungan konsumen, seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Lembaga ini perlu diperkuat dari segi sumber daya manusia, infrastruktur, dan kewenangan agar dapat memberikan pendampingan hukum yang lebih baik kepada konsumen. Pemerintah juga harus memastikan keberadaan BPSK di seluruh daerah sehingga akses penyelesaian sengketa dapat merata dan mudah dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.

Selain itu, perlu dilakukan pengembangan teknologi pendukung dalam penyelesaian sengketa konsumen. Misalnya, penggunaan aplikasi atau sistem digital yang memungkinkan konsumen mengajukan pengaduan dengan cepat dan mudah. Teknologi ini dapat membantu konsumen melaporkan masalah mereka kepada platform e-commerce, lembaga perlindungan konsumen, atau pemerintah secara real-time. Dengan dukungan teknologi, proses penyelesaian sengketa dapat dilakukan lebih efisien dan transparan.

Lebih jauh, kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan lembaga perlindungan konsumen juga sangat diperlukan. Pemerintah perlu bekerja sama dengan platform e-commerce untuk menciptakan standar perlindungan konsumen yang lebih tinggi, termasuk kebijakan yang menguntungkan konsumen. Di sisi lain, lembaga perlindungan konsumen harus menjadi jembatan antara konsumen dan pelaku usaha dalam menyelesaikan sengketa. Kolaborasi ini diharapkan dapat menciptakan ekosistem transaksi online yang aman, adil, dan terpercaya.

Dengan mengimplementasikan solusi-solusi tersebut, diharapkan perlindungan konsumen dalam jual beli online dapat ditingkatkan secara signifikan. Konsumen akan merasa lebih aman dan percaya dalam melakukan transaksi online, sementara pelaku usaha akan terdorong untuk lebih bertanggung jawab dan transparan. Dengan demikian, sengketa yang terjadi dalam jual beli online dapat diminimalisir, menciptakan hubungan yang harmonis antara konsumen dan pelaku usaha di era digital.

Kesimpulan

Penyelesaian sengketa konsumen dalam jual beli online di Indonesia memiliki tantangan yang cukup besar, baik melalui jalur litigasi maupun non-litigasi. Meskipun jalur litigasi seperti pengadilan dan BPSK dapat memberikan solusi hukum, namun prosedur yang panjang, biaya yang tinggi, dan keterbatasan akses membuat jalur ini kurang efektif untuk konsumen. Sebaliknya, penyelesaian sengketa secara non-litigasi, seperti mediasi dan penyelesaian internal oleh platform e-commerce, lebih efisien dan cepat.

Meskipun demikian, masih terdapat kendala dalam penerapan mekanisme tersebut, seperti kurangnya pemahaman konsumen dan kepatuhan pelaku usaha terhadap putusan penyelesaian sengketa. Oleh karena itu, diperlukan pembaruan regulasi yang lebih tegas dan integrasi sistem penyelesaian sengketa yang lebih mudah diakses oleh semua pihak.

Saran

Untuk meningkatkan perlindungan konsumen dalam transaksi jual beli online, disarankan agar pemerintah, platform e-commerce, dan lembaga perlindungan konsumen bekerja sama dalam menyempurnakan regulasi yang ada serta meningkatkan sosialisasi tentang hak-hak konsumen dan mekanisme penyelesaian sengketa.

Platform e-commerce juga perlu meningkatkan sistem pengaduan dan transparansi dalam proses penyelesaian sengketa, sementara BPSK harus diperkuat agar dapat menyelesaikan sengketa secara lebih efektif dan cepat.

Selain itu, konsumen harus didorong untuk lebih proaktif dalam memahami hak dan kewajiban mereka, serta memanfaatkan jalur non-litigasi yang lebih praktis dalam menyelesaikan sengketa secara adil dan efisien.

Daftar Pustaka

A. Sari, "Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen dalam Transaksi Jual Beli Online di Indonesia," Jurnal Hukum dan Perundang-Undangan, vol. 23, no. 2 (2020): 112-113.

M. Hidayat, "Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam Transaksi E-Commerce di Indonesia," Jurnal Hukum Bisnis, vol. 19, no. 1 (2019): 145-146.

N. Indah, "Efektivitas Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Konsumen pada Platform E-Commerce," Jurnal Hukum dan Keadilan, vol. 27, no. 3 (2021): 220-222.

F. Putri, "Peran Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam Penyelesaian Sengketa Transaksi Jual Beli Online," Jurnal Perlindungan Konsumen Indonesia, vol. 12, no. 4 (2022): 134-136.

D. Saputra, "Penyelesaian Sengketa Melalui Jalur Litigasi dan Non-Litigasi dalam Hukum Konsumen," Jurnal Ilmu Hukum, vol. 15, no. 2 (2020): 98-100.

S. Lestari, "Pengaruh Pendidikan Konsumen terhadap Kesadaran Hukum dalam Transaksi Online di Indonesia," Jurnal Pendidikan dan Hukum, vol. 21, no. 1 (2021): 79-81.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun