Siang lalu, saya mengikuti suatu Vestifal yang dihususkan untuk anak-anak usia 5-6 tahun di salah satu wahana rekreasi di kota, kebetulan anak saya juga menjadi peserta lomba dalam Vestifal tersebut.Â
Suasana semakin siang semakin terik, acara tak kunjung dimulai. Suasana gerah dan hiruk pikuk mulai terasa. Anak-anak sepertinya sudah banyak yang jenuh serta bosan, baru beberapa menit kemudian opening ceremony baru dimulai.
Yang menarik anak-anak tetap menjadi diri mereka sendiri, meskipun diacara yang resmi dan banyaknya tamu undangan mereka tampak berlarian mengusir kejenuhan.Â
Mereka tak bisa hanya duduk manis dan berdiam diri, apalagi mereka harus menjadi pendengar yang baik. Suatu hal yang sulit bagi mereka.
Diusia mereka saat ini terlihat sekali, jiwa ekplorasi perkembangan gerak dan imaginasi mereka. Semua tampak indah jika kita melihatnya sebagai sesuatu yang natural.
Ketika melihat hal yang baru, dengan mata yang penuh konsentrasi dan keinginan mereka yang kuat, seakan-akan jiwa keingintahuan mereka menarik begitu dalam, berlarian melihat setiap detail dari hal-hal yang mereka jumpai.
Bentuk eksplorasi mereka pun beragam, ada yang bereksplorasi dengan cara bertanya, meraba, bahkan menjadikan objek yang baru sebagai mainan baru. Ya itulah anak-anak.
Mereka memahami sesuatu yang baru dengan persepsi mereka, dari pengalaman dan sumber informasi Indra merekalah yang nantinya akan menjadi sumber pengetahuan.Â
Kembali ke event. Saat parade, anak-anak juga terlihat sangat antusias mereka berjalan beriringan dengan membawa properti yang telah disediakan dari pendamping mereka menuju kelokasi lomba sesuai cabang mereka masing-masing.
Waktu sudah menjukan pukul 10.00 WIB, rombongan kami memutuskan untuk istirahat sejenak sambil memakan bekal yang kami bawa, anak-anak sepertinya sudah sangat lapar. Dan merekapun makan dengan sangat lahap.
Sekitar 15 menit setelah kami istirahat, kami pun melanjutkan mencari area lomba. Mereka senangnya minta ampun, tak ada lelah. Berlarian kesana kemari, seolah-olah mereka memiliki stok cadangan energi yang melimpah.Â
Setelah beberapa menit berjalan, kami sampai pada sebuah stand untuk anak lomba. Panitia pada saat itu tengah mengabsensi semua tim peserta lomba.
Tim kami mendapat nomer undi 14 dari 19 regu. Emm sangat melelahkan untuk menunggu.Â
Dari nomer urut 1-13 mereka masih bisa menunggu, namun dengan penuh kesabaran juga tentunya sebagai orang tua, bagaimana tidak kami harus menjaga mood mereka, biar gak ngambek.
Anak-anak itu mudah jenuh, serta selalu memiliki keinginan yang berbeda setiap saatnya, pola pikir yang melompat-lompat kalau saya amati.
Bahkan beberapa anak dari tim kami ada sudah tertidur, karena lelahnya menunggu. Tak jarang pula yang baru beberapa menit yang lalu bertanya kapan mulainya, bertanya lagi di menit selanjutnya.
Barulah setelah itu sampai saatnya kami dipanggil untuk bersiap- siap. Kami segera menata dan mempersiapkan mereka, membreafing mereka mengingatkan kembali poin-poin yang penting.Â
Ahirnya sampailah giliran tim anak-anak kami, dihadapan juri mereka sudah terlihat tidak fokus. Hingga ahirnya mereka beberapa kali melakukan gerakan yang menurut kami orang dewasa fatal.Â
Dalam hati kami perasaan kecewa ada, karena ekspektasi kami terhadap mereka adalah mereka tampil maksimal tanpa ada kesalahan sedikitpun, sesuai juknis perlombaan dan kami pasti menang.
Diluar kendali kita, mereka tetaplah anak-anak. Mereka melakukan kesalahan tanpa merasa gugup maupun rasa bersalah.Â
Kami para pendamping tak bisa berbuat banyak hanya berharap mereka mampu menyelesaikan kekacauan tersebut.Â
Ahirnya terjawab sudah mereka mampu mengatasi masalah di tim mereka, itupun menjadi kelegaan tersendiri bagi kami.
Hingga dimenit terahir, mereka sudah menyelesaikan tugas mereka. Kami pun menyambut dengan pelukan dan tepuk tangan sebagai bentuk apresiasi untuk mereka.
Jadi dalam hati saya, ada pembelajaran yang bermakna bagi kita sebagai orang tua. Pertama, di usia mereka yang masih anak-anak, mereka melakukan hal yang sudah diluar dan jangkauan mereka. Bagaimana tidak, mereka harus melakukan apa yang menjadi standar dari coach demi meraih sebuah ambisi  to be winner, ini gila. Sedangkan mereka sebenarnya tidak ingin dipaksa untuk seperti itu. Jiwa anak-anak memilih sebuah kebebasan dalam mengeksplorasi. Kedua, saat terjadi kesalahan kita tak selayaknya menghakimi mereka, karena mereka melakukan itu semua karena keinginan kita, bukan keinginan mereka. Justru ada sisi positif bahwa kita harus bangga, mereka dapat menyelesaikan masalah tanpa campur tangan kita orang dewasa, mereka punya jalan keluarnya sendiri.Â
Inilah kemenangan sejati bagi mereka anak-anak dan kekalahan telak bagi kita orang dewasa yang memaksakan kehendak kita dan harus diterapkan dalam diri mereka.
Semoga dengan hal ini mampu memberikan open mainset kita, bahwa pendidikan kita saat ini masih menjadikan mereka budak ambisi kita, belum mampu mengiring mereka pada hakikat keberadaan mereka!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H