Mohon tunggu...
Ruliah
Ruliah Mohon Tunggu... Guru - Membaca adalah aktifitas jiwa, mengisi setiap kekosongan

Pendidik dan pegiat literasi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Jadikan Mereka Partner Bukan Bawahan

16 Desember 2021   23:34 Diperbarui: 16 Desember 2021   23:35 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

sekolah selalu saya ibaratkan sebuah rumah, tak hanya sebatas tempat mengajar yang berisi guru dan murid, maupun sarana prasarana. Saya lebih senang menyebutnya sebagai rumah, tempat ada kenyamanan, keceriaan dan pengelolaan yang lebih humanis. 

Ada guru lain sekolah yang curhat, bahwa mengajar disekolah tidak betah dan ingin pindah sekolah. Kemudian ia menceritakan apa saja yang terjadi, kepada saya, ia mengungkapkan jika ia sebagai guru sering tak dianggap.

 Mendengar hal itu kemudian saya menelusuri lebih dalam. Sebenarnya di sekolahan itu hanya ada 1 guru dan 1 kepala. Kebetulan ia yang menjadi gurunya. Selanjutnya ia menjelaskan ketidaknyamannya karena  Kepala sekolah tempat ia mengajar tipikal orang yang tertutup dan tak mau berbagi maupun bertukar pikiran. 

Saat ada perubahan ia selalu tak dilibatkan, Kepala sekolahnya yang menentukan dan memutuskan sendiri. Saat ia mempunyai ide atau gagasan malah sering diabaikan dibilang ruwet dan tak mungkin di lakukan. Rupanya hal tersebut yang mendasari ketidaknyamanya di sekolahan tersebut.

Mendengar cerita tersebut sebenarnya saya kasihan, mungkin tak hanya satu bahkan banyak guru-guru yang merasa tak nyaman dan kerasan mengajar di sekolah yang kita pimpin. Bahwa mendidik ruang lingkupnya tak cukup pada peserta didik, kita sebagai kepala juga harus mampu mendidik guru-gurunya, memberikan kenyamana dan kebahagian. Sehingga guru akan secara total memberikan ilmunya pada murid-muridnya, bahkan sampai rela memberikan jiwanya untuk sekolah yang kita bina. 

Banyak pula sekolah yang maju, karena faktor menejerial, sebagaimana yang kita ketahui seorang kepala tak hanya sebagai penguasa, namun juga sebagai manajer di lingkungan sekolahnya. 

Kepala adalah pemimpin, pemimpin hendaknya sadar bahwa apa yang sedang ia jalankan adalah amanah, konsekuensinya adalah pertanggung jawaban, baik dihadapan guru maupun di hadapan Tuhan. 

Berbicara pemimpin sebenarnya dari setiap kita adalah pemimpin, pemimpin bagi diri sendiri. Menjadi pemimpin bukanlah suatu hal yang harus dibanggakan ataupun dijadikan alat untuk melakukan semuanya sesuai keinginan sendiri. Menjadi pemimpin berarti harus berjiwa besar, menerima perbedaan dan siap dikritik. 

Hal yang paling penting supaya dalam menejemen berjalan dengan baik adalah salah satunya melalui komunikasi. Komunikasi ini yang akan mempengaruhi sejauh mana keberhasilan dalam sebuah lembaga, jika komunikasinya lancar maka segala sesuatunya akan cepat dan mudah diatasi. Misalnya dalam sebuah lembaga, terdapat permasalahan yang harus segera diselesaikan, maka sebaiknya perlu mengkomunikasikan jalan keluarnya bersama. Tak perlu menanggung sendiri apa yang terjadi.

Komunikasi juga terkait erat dengan keterbukaan, makna terbuka yaitu kita selalu membuka diri untuk semua bentuk saran dan masukan. Kita perlu merubah cara pandang kita tentang suatu kemajuan, kemajuan terkadang berasal bukan dari diri kita, melainkan saran dan dukungan dari orang di sekitar kita. Sehingga jangan pernah menutup saran maupun pendapat dari patner kita. Saya lebih nyaman menyebut partner dari pada istilah atasan maupun bawahan

 Segala sesuatu yang berkaitan dengan pendidikan dan perkembangan anak didik selalu saya bahas bersama patner di sekolah. Baru kemudian setelah ada pembahasan kita akan lebih mudah memutuskan langkah yang terbaik. Bahkan saya tak pernah segan meminta pendapat dari teman-teman guru, inovasi apa, atau keinginan apa yang ingin mereka wujudkan di sekolah. 

Dari komunikasi dan keterbukaan sebanarnya kita sedang membangun sense of belonging atau biasa kita kenal dengan rasa memiliki. Jika rasa memiliki sudah tertanam dalam hati setiap guru, mana mungkin mereka rela jika sekolahan mengalami kemunduran, justru mereka akan bangkit sekuat mungkin memperbaiki bukan justru kesempatan untuk meninggalkan.  

Orang yang sudah mempunyai rasa memiliki maka tak akan berfikir  lagi tentang untung rugi, atau akan mendapat imbalan atas apa yang sudah dilakukan. Bahkan secara tidak sadar biasanya akan tumbuh jiwa rela berkorban, baik secara waktu maupun materi. Sungguh ajaib kekuatan rasa memiliki.

Kemampuan untuk mengelola, berkomunikasi dan asas keterbukaan bukanlah suatu yang datang secara tiba-tiba. Butuh proses untuk memahami ini semua. Kita perlu meyakinkan pada diri kita bahwa setiap orang punya potensi, sama halnya pola pikir ini diterapkan bahwa setiap anak itu cerdas dan unik. 

Guru juga sama setiap dari mereka unik dan mempunyai kemampuannya masing-masing. Kita hanya perlu jeli. Sehingga mereka akan dengan sendirinya memberikan potensi yang mereka miliki untuk kemajuan lembaga. Perlu kita ingat lagi, sebagai seorang menejer yang perlu dilakukan adalah memberi mereka ruang berekspresi dengan seganap kemampuannya. Bukan sebaliknya menutup segala potensi yang mereka miliki. 

Jadi sangat wajar jika ada guru yang mengeluh bosan, jenuh, bahkan ingin keluar. Karena mereka secara naluriah kemampuannya sudah dikekang dan tidak diberdaya gunakan.

Bisa juga kita lihat, ada guru yang secara totalitas memberikan diri dan jiwa mereka untuk dunia pendidikan, ya karena memang mereka merasa diakui keberadaanya dan ada ruang untuk mengembangkan potensi yang mereka miliki. 

Saat sehari saja ijin berhalangan ada rasa yang tak enak. Berbeda dengan guru yang tak dianggap, mereka justru akan sering ijinnya dibanding sering masuknya. Maka wajar jika dalam hati mereka tidak merasa menyesal atau bersalah. 

Saya sudah membuktikan sendiri, bagaimana memposisikan guru sejajar dengan kita, tanpa kita takut untuk tak dihormati. Justru sebaliknya dengan memposisikan mereka menjadi rekan, akan terjalin hubungan yang harmonis. Visi yang kita bawa juga akan mudah dicapai bersama. Maka sangat betul istilah ringan sama dijinjing, berat sama dipikul. Tak perlu memikirkan segalanya sendiri, atau bertindak sendiri, ada partner terbaik kita yang siap kapanpun. 

Maka dari sekarang mari bangunlah partneship dalam peningkatan kualitas pendidikan kita. Tak perlu mengkotak-kotakkan antara atasan bawahan. tak perlu menganggap merek berbeda, tak perlu menganggap mereka bukan apa-apa, tapi anggap mereka ada, mereka adalah kita, mereka adalah partner terbaik kita, tanpa mereka kita bukan siapa-siapa dan tak mungkin bisa apa-apa. Buatlah Mereka bahagian dan kerasan, maka sebenarnya membuat diri kita bahagia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun