Dia asli Indonesia, lahir di Medan, Sumatera Utara, 32 tahun lalu. Tepatnya, 20 Oktober 1977. Sejak itu, selama 17 tahun, dari TK, SD, SMP dan SMA, Nelson bersekolah di Yayasan Perguruan Sutomo Medan, dan lulus SMA Sutomo 1 tahun 1994. Jalan hidup dan pendidikan Nelson terkesan sangat cemerlang. Lihat saja,  September 1995 anak Medan ini sudah nangkring di University Of Wisconsin-Madison, Amerika Serikat, dan Mei 1998, gelas S-1 (BS) bidang Applied Mathematics, Electrical Engineering dan Physics sudah ditangannya. Dengan summa cum laude ! Tak berhenti sampai disitu, dibanjiri banyak tawaran bea siswa ke level lanjutan dari pelbagai perguruan tinggi top di Amerika, Nelson tak bergeming. Dia tetap di Wisconsin. Sejak September 1998 sampai Mei 2003, artinya lima tahun setelah menyelesaikan Strata 1- nya, putera kebanggaan alm. Pak Iskandar Tansu dan almh. Bu Lily Auw, keluarga pebisnis percetakan di Medan ini kembali sukses mengantongi gelar S-3 (Ph.D) di bidang Electrical Engineering dan Applied Physics dari University Of Wisconsin-Madison. Dalam usia 25 tahun ! Sejak itu, universitas universitas papan atas Amerika Serikat, German, Canada dan Asia berdatangan meminang penyuka masakan Padang ini. Adalah Lehigh University, yang berlokasi di kota Bethlehem, Pennsylvania, yang dipilih Nelson untuk mengharungi samudera ilmu. Kota ini kurang lebih satu setengah jam bermobil dari Philadelphia, kota tua yang dulu pernah jadi ibukota Amerika Serikat. Diusia 25 tahun, Nelson telah menjadi Asisten Profesor, dan saat ini sedang dipromosikan menjadi Profesor dengan tenure (associate professor with tenure), sebagai hasil seleksi dari 300an Ph.D yang melamar dan harus melawati saringan sangat ketat. "Seleksinya sangat ketat, dan yang diperebutkan hanya satu", katanya. Disamping tugas pokoknya mengajar kelas S-3, Nelson tak jarang merekrut dalam penelitiannya mahasiswa Indonesia, dan membimbing beberapa calon Ph.D asal Indonesia. Suami Adella Gozali Yose agaknya memang sengaja memilih Lehigh University, karena ternyata ini adalah salah satu perguruan tinggi papan atas Amerika Serikat, yang terkenal kuat dalam fisika terapan, dengan Rossin College of Engineering and Applied Sciencenya. Konon, Rossin Coleggenya itu setara dengan sekolah ekonomi Wharton School of Businessnya The University Of Pennsylvania, yang salah satu alumninya adalah Prof Dr. Boediono, kini Wapres Republik Indonesia. Meminjam jargon Ki Dalang Manteb, Prof Nelson Tansu sungguh pancen oyee. Bagaimana tidak, saat ini lebih dari 84 hasil riset maupun karya tulisnya bertebaran, dipublikasikan di berbagai konferensi dan jurnal ilmiah internasional. Dia sangat sering diundang menjadi pembicara utama di beragam konferensi dan seminar. Tidak hanya di Washington, juga ke manca negara. Dan belasan karya ilmiah dan hak paten atas penemuan risetnya telah menjadi bukti tak terbantahkan. Tiga hak patent, antara lain, meliputi semiconductor nanostructure, opto electronics divices dan high power semiconductor lasers. Juga pengembangan teknologi semi- conductor lasers,quantum well dan quantum dot laser, quantum intersubband lasers, dan banyak lagi. Teknologi tersebut diterapkan dalam aplikasi bidang optical communications, biochemichal sensors, sistem deteksi persenjataan dan lain lain. Ketika saya tanyakan tentang kepulangannya ke Indonesia belum lama ini dan bertemu dengan Mendiknas RI Prof Dr M. Nuh yang mantan Rektor ITS Surabaya itu, Nelson mengatakan bahwa memang sedang ada suatu usaha untuk meningkatkan kerjasama, yang dijalin atas rekomendasi pemerintah RI dan AS, dengan beberapa perguruan tinggi Indonesia, antara lain dengan ITS, ITB, UI dan UGM. Satu hal penting yang patut dicatat adalah meskipun sudah lebih satu decade di Amerika, Nelson masih tetap memegang paspor berlambang burung Garuda. "Saya sangat cinta Indonesia, suatu waktu ingin melakukan yang terbaik bagi negara. Indonesia adalah negara yang besar, dan bangsa kita akan mampu bekerja keras untuk bersaing dengan dunia", kata Nelson suatu waktu. Saking sempitnya waktu, Nelson sudah biasa bekerja sampai jam 2 pagi. Bahkan dikarenakan kesibukannya, janji lanjutan wawancarapun mungkin baru akan terealisasi pekan depan. Konon menurut informasi, selama mengajar di kampus, tak jarang - karena wajahnya yang memang masih sangat muda untuk job selevel dosen post doctoral itu, Nelson Tansu sering dikirain sebagai mahasiswa S-1atau magister. Tapi setelah lebih kenal, biasanya panggilanpun akan berubah hormat menjadi : Prof Tansu. Hehe, siapa suruh muda muda jadi profesor , ya nggak ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H