Mohon tunggu...
Ruki Setya
Ruki Setya Mohon Tunggu... Guru - momong anak-anak

menghabiskan waktu bersama anak-anak di kampung dengan bermain bola dan menulis untuk berbagi pengalaman.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Terhempas

4 Desember 2023   08:43 Diperbarui: 4 Desember 2023   08:51 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari itu, jadwal arisan ibu-ibu PKK akan bergulir untuk kesekian kalinya. Dewi sebagai ketua arisan sibuk menyiapkan segala sesuatunya. Arisan kali ini akan bertempat di rumah sekretaris PKK, Bu Laras. Sudah menjadi kebiasaan Dewi, setiap acara arisan ia selalu datang lebih awal. Tas yang berisi buku daftar peserta arisan, gulungan kertas kecil-kecil yang dimasukkan dalam potongan sedotan, dan yang pasti uang berbagai pecahan rupiah. Tas kecil itu dibawa dengan cara diselipkan diantara lengan kanan dan badannya, kalau orang Jawa bilang “dikempit”. Dewi duduk bersimpuh di lantai yang sudah dialasi karpet coklat bermotif bunga. Tak beberapa lama rumah Bu Laras telah ramai ibu-ibu anggota arisan. Suara mereka riuh bersahutan. Saling bersapa. Saling curhat. Saling berkelakar dengan tawa yang renyah. Tak ayal ruang tamu yang cukup lebar itu bagai pasar pindah. Riuh suara ibu-ibu itu mendadak terhenti oleh loudspeaker di pojok ruangan. Itu adalah suara Dewi yang telah mengawali membuka acara arisan.

“Assaalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh...”

Serempak ibu-ibu yang hadir menjawab salam dari Dewi, Ketua Arisan.

“Ibu-ibu, saudara semua, perlunya arisan ini tidak sekedar kumpul-kumpul, mengumpulkan uang terus dikocok lalu selesai kita pulang. Yang terpenting dari itu kita bisa mempererat tali silaturahmi dengan semua anggota arisan. Ada yang penting lagi yaitu kita bisa curhat, barangkali ada masalah-masalah terkait rumah tangga. Mungkin dari masalah itu kita bisa membantu memecahkannya. Pesan dari kami, kita sebagai istri sebisa mungkin menjadi pribadi yang disayang suami, bisa menempatkan posisi yang baik untuk suami dan anak-anak.” sambil beringsut, Dewi membetulkan letak duduknya agar nyaman.

“Tugas kita di rumah tidak cuma jadi ibu rumah tangga, masak, nyuci, ngurus anak dan sebagainya. Kita sebagai istri harus bisa menjaga nama baik suami, pandai memberi pelayanan yang terbaik bagi suami baik lahir maupun batin," tutur Dewi semakin memikat para anggota arisan. “Selain itu kita harus bijak dalam mengelola keuangan atas kepercayaan suami yang telah menyerahkan keuangan rumah tangga kepada istri, harus hati-hati, teliti dan cermat dalam mengatur keuangan. Syukur kalau bisa menabung. Kita harus membuat suami selalu setia dan sayang kepada istri. Meskipun kita cuma ibu rumah tangga, harus tetep bersolek bilamana di rumah agar suami tetap kerasan di rumah, tidak tergoda dengan wanita lain. Misal di acara seperti ini kita juga bisa menyesuaikan kondisi. Berpakain yang rapi dan pantas supaya suami tidak malu dengan kita.”  Dewi menutup sambutan dengan semangat sambil mengepalkan tangan, “Kita harus menjadi the power women!”

Tegas dan jelas tutur kata Dewi kepada anggota arisan. Namun sambutan Dewi yang panjang itu, ibu-ibu yang ada di pojok ruangan, dekat jendela, berbisik sambil tangannya menutupi mulutnya agar suaranya tidak lolos ke telinga ibu-ibu di sebelahnya. Entah apa yang dibicarakan.

Dalam berpakaian, Dewi memang terkenal glamour. Mewah. Semua perhiasan yang ada dipakai. Kalung, gelang, cincin, bros untuk baju dan hijab. Gaya pakaiannya tidak kalah dengan generasi milenial.

Busana Dewi yang kelihatan mewah itu sebenarnya bukan tracking dari mall atau belanja online, namun usut punya usut ternyata kiriman dari teman suami satu kantor. Belakang diketahui, suaminya, Prasetya Wibawa, sering mendapat titipan baju-baju dari temannya untuk istri tercinta. Teman suaminya itu tidak hanya sekali tapi sudah berulang kali kirim baju kebaya atau dress. Bahkan Prasetya ketika pulang dari kantornya sering membawa makanan yang menggoda selera. Roti, Ayam Bakar, Gorengan, Buah-buahan dan lainnya. Maka dari itu Dewi sudah menganggap teman sekantor suami, Pras, seperti saudara sendiri.. Meskipun Dewi belum sekalipun ketemu dengan teman suaminya itu, Dewi menganggap lebih dari saudara. Teman Pras sekantor itu namanya Astuti. Lewat cerita Pras lah Dewi tahu siapa Astuti. Di mata Dewi, Astuti adalah sosok wanita yang baik dan ramah. Kelak Dewi akan diperkenalkan oleh Pras dalam suatu acara.

***

Bulan Besar dalam kalender Hijriyah disebut Dzulhijjah atau bulan Haji. Bulan ini telah dipercaya oleh masyarakat Jawa bahwa bulan Besar adalah bulan keberuntungan. Maka di bulan ini orang-orang akan berlomba mengadakan acara keluarga. Baik pernikahan maupun khitan atau acara lainnya. Di bulan Besar menjadi booming orang orang punya hajat.

Disuatu masa, Pras mendapat undangan dari teman kantornya dalam acara pernikahan. Pras sudah pasti akan mengajak Dewi. Maka hari itu, Dewi telah siap dengan berpakaian style dengan dandanan sekelas selebritis ibukota. Dewi begitu anggun dengan kebaya hijau dengan hijab serasi banget. Bawahan lurik coklat muda. Tidak ketinggalan perhiasan yang melekat pada beberapa jari manis dan jari tengah, gelang ada beberapa di kedua tangannya, bros kecil menghiasi hijab di bawah leher. Semua nampak indah dan mempesona. Sementara Pras memakai hem batik panjang warna coklat dengan kombinasi celana hitam. Pras dan Dewi  ketika berdiri berdampingan kelihatan pasangan yang serasi sekali. Namun, hampir delapan tahun pernikahannya belum juga memperoleh keturunan.

Pras dan Dewi telah sampai di lokasi acara pernikahan di sebuah gedung pertemuan di kotanya. Di sana telah banyak yang hadir. Kursi-kursi sebagian telah diisi oleh tamu-tamu yang hadir. Pria dan wanita berpasangan. Anak-anak sebagian ada yang serta. Pras dan Dewi lalu ambil posisi di bagian belakang. Dewi langsung duduk di kursi yang kosong. Di sebelah beberapa kursi yang kosong itu nampak sudah ada tamu yang duduk tanpa pasangan. Seorang wanita dengan perawakan yang langsing berkulit sawo matang. Busana yang dipakai sederhana tidak menunjukkan yang berlebihan. Perhiasan yang dipakainya juga tidak mencolok. Tidak sebanding dengan busana dan perhiasan yang dipakai Dewi.

“kok, sudah sampai di sini, Dik? Sudah lamakah?” sapa Pras kepada wanita itu dengan ramah yang tak dibuat-buat.

“Barusan kok, Mas! Kira-kira sepuluh menitan.” jawab wanita itu dengan senyum simpul.

“ini lho, Bu, temanku sekantor yang sering kuceritakan.” Pras memperkenalkan Astuti kepada Dewi.

Astuti yang merasa dikenalkan segera mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Dewi. Sikap Astuti yang sopan dan berhati-hati itu membuat Dewi agak gugup. Hampir saja kursi yang diduduki Dewi roboh oleh gerakannya yang reflex untuk meraih jabat tangan dengan Astuti. Namun Dewi bisa menguasai keadaan.

“Maaf.., Mbak Astuti, ya?”

“Benar,Bu, saya Astuti?”

“Mas Pras sering cerita tentang Mbak Astuti. Ternyata Mbak Astuti orangnya baik meskipun bukan sanak saudara. Saya berterima kasih banyak atas kiriman-kiriman dari Mbak Astuti.”

“Ah, sudahlah, Bu!” jawa Astuti agak malu-malu.

Dua wanita itu asik ngobrol. Sementara Pras menyapa teman-teman kantornya yang baru datang. Di depan sana acara pernikahan baru saja dimulai beberapa menit yang lalu.

***

Pagi ini, Pras izin dengan Dewi kalau pulangnya mungkin agak malam tersebab banyak pekerjaan laporan yang harus selesai hari ini. Dewi menyepakati. Kebetulan sore nanti, Dewi juga ada acara bezuk Bu Laras yang opname di Rumah Sakit. Maka dari itu acara bezuk di rumah sakit bersama ibu-ibu PKK tidak harus pulang tergesa-gesa. Kesempatan bagi Dewi untuk refreshing. Sekali-kali tidak berkutat dengan pekerjaan rumah tangga .

Ibu-ibu PKK yang akan bezuk ke Rumah Sakit sudah berkumpul di halaman rumah Dewi. Mobil pun sudah siap, maka semua masuk ke dalam mobil. Rombongan bezuk itu berangkat ke Rumah Sakit.

Sampai di rumah sakit, rombongan bergegas menuju ruang Anggrek di kamar nomor 20, di lantai 2. Kondisi Bu Laras sudah mulai segar. Sakit yang diderita Bu Laras memang tidak berat. Kata dokter, Ia hanya perlu istirahat. Setelah beberapa saat, Dewi bersama rombongan segera berpamitan karena waktu bezuk terbatas. Dewi mewakili rombongan mendoakan Bu Laras agar segera pulih dan sehat kembali.

Di mushola rumah sakit kumandang adzan telah terdengar. Dewi dan rombongan ibu-ibu segera keluar dari kamar perawatan Bu Laras. Mereka sengaja tidak mengambil turun lift. Mereka menyusuri koridor agar bisa mengeksplor suasana dalam rumah sakit. Keluar dari ruang perawatan, mereka melewati beberapa ruangan yang aktivitasnya masih sibuk memberi pelayanan. Klinik pengobatan dan konsultasi masih open. Wajar ini adalah rumah sakit swasta yang dokter prakteknya mulai buka dari pukul 16.00 sampai dengan 21.00 wib. Dewi berjalan pelan. Beberapa kali smartphonenya bunyi, membalas chat yang masuk.  Hingga Ia tertinggal dengan rombongan beberapa langkah di belakang. Di persimpangan lorong klinik-klinik ruangan, Dewi melongokkan pandangannya ke kanan. Di sana ada klinik kandungan dan kebidanan –dr. Ahmad Wirawan,Sp.OG-. Di depan klinik itu masih ada beberapa pasien menunggu antrian. Namun yang menjadi perhatian Dewi bukan mereka yang sedang duduk menunggu panggilan.

Di temaramnya lampu malam, dua sosok keluar dari ruang klinik kandungan. Dewi yang menemui pemandangan itu hampir tak percaya. Berkali-kali ia menggosok matanya. Diusia empat puluhan itu belumlah menunjukkan adanya kerabunan. Normal dan masih jelas melihat obyek sejauh mata memandang. Dewi mengulangi melihat dua sosok itu. Dan sekali lagi Ia mengusap matanya. Dua orang pria dan wanita yang keluar dari klinik kandungan berjalan membelakangi Dewi. Dewi dengan jelas mengenalnya. Untuk yang ketiga kalinya Dewi menajamkan penglihatan dan menguatkan hatinya untuk memastikan bahwa dua sosok itu adalah benar. Ia perhatikan dengan seksama meskipun jantungnya berdebar. Ia saksikan wanita itu berjalan dengan menyandarkan kepala di bahu pria dengan manja. Sementara tangan wanita itu melingkar di pinggang. Si Pria berbicara sambil tangannya mengusap perut si wanita. Sesekali tangan si pria mengusap rambut wanita dengan rasa sayang yang berlebih.

Semua adegan yang tak terduga itu terekam dalam memori otak dan hati Dewi. Semua jelas dan tanpa sensor. Dewi mencoba untuk bertahan. Setidaknya Dewi ingin menemui dan bicara baik-baik agar semua masalah bisa diselesaikan tanpa harus saling menyakiti.

“Mas Pras.., Astuti.., apa yang kau lakukan selama ini? Astagfirullahaladzim!”

Tak terasa keringat dingin mulai membasahi kening, leher dan tangan Dewi. Tubuhnya mulai lemas gemetar. Pandangannya masih tertuju pada sosok yang semakin menjauh dan menghilang di tikungan lorong rumah sakit. Dan pandangan Dewi semakin kabur, gelap. Banyak kunang-kunang memenuhi kelopak matanya. Sedetik kemudian, Ia lunglai. Tubuh Dewi jatuh ke lantai. Ibu-ibu yang tahu Dewi tergeletak di lantai, segera berhamburan. Menggoyang tubuh Dewi yang lemas tanpa daya. Ibu-ibu mencoba lagi untuk membangunkannya namun masih tak ada reaksi.  Dewi sudah tak ingat apapun. Dewi pingsan menyaksikan kebahagiaan suaminya, Prasetya Wibawa, bersama wanita lain, Astuti, teman sekantor suaminya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun