Mohon tunggu...
Ruki Setya
Ruki Setya Mohon Tunggu... Guru - momong anak-anak

menghabiskan waktu bersama anak-anak di kampung dengan bermain bola dan menulis untuk berbagi pengalaman.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Ekstremnya Orangtua dan Pelatih dalam Pembinaan Sepakbola Level Grassroots di Negeri +62

30 Januari 2023   13:35 Diperbarui: 30 Januari 2023   14:53 729
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pembinaan sepakbola level Grassroots di Indonesia (Shutterstock via KOMPAS.COM)

Pildun Qatar telah menjadi sejarah diabad ini, Argentina sebagai campione, Messi sebagai  pemain terbaik dengan Ballon d'Or, top score diraih oleh Mbapp, Enzo Fernandez sebagai pemain muda terbaik, sementara  kiper terbaik disandang oleh Emiliano Martinez yang belakangan setelah pildun menjadi bualan oleh netizen karena sikapnya yang "norak".  Prestasi yang diraih mereka bukan semudah menghisap sebatang rokok. Atau semudah membuat mi instan  kemasan.

Prestasi mereka itu diperoleh dari perjuangan yang maha dahsyat sulitnya. Seperti Messi, dia menyukai dan berlatih sepakbola mulai usia lima tahun. Dia harus pindah Negara dari Argentina ke Spanyol. Bahkan dia harus rela diinjeksi dengan serum penambah tinggi badan karena didiagnosis mengalami  growth hormone syndrome, yang pada akhirnya tinggi badannya mentok 169 cm saja. 

Lumayanlah, sedikit lebih tinggi 4 cm dari Maradona. Mereka, atau bintang top sepakbola dunia  lainnya tentu punya kisah menekuni sepakbola dari usia dini sampai yang anda lihat sekarang.

Kita lewatkan dulu mereka. Mari ngobrol tentang pembinaan sepakbola di negeri +62 dimana pembinaan di akar rumput, di desa desa sedang menjamur. 

Saya adalah pegiat sepakbola di sebuah desa. Sebagai pembina sepakbola berlicensi D Nasional PSSI. Saya mempunyai beberapa anak didik usia dini (usia 9 tahun sampai 12 tahun) dan beberapa anak di kelompok usia 15 tahun sampai 18 tahun. Dalam membina anak-anak usia dini  selalu berpedoman pada kurikulum pembinaan sepakbola Indonesia yang diterbitkan oleh PSSI. 

Kurikulum pembinaan sepakbola Indonesia yang disebut Filosofi Sepakbola Indonseia (Filanesia) merupakan pedoman dasar latihan sepakbola usia dini, usia muda dan dewasa. Yang apabila diterapkan akan membekali anak-anak dengan pemahaman bermain sepakbola dengan benar. 

Juga Federasi sepakbola dunia, FIFA, yang mempunyai program tersendiri  bernama FIFA Grassroot. FIFA grassroots sendiri menargetkan pelatihan sepakbola anak laki-laki maupun perempuan berusia 6-12 tahun melalui inisiatif sekolah, komunitas, atau klub. Program grassroot menganjurkan pertukaran nilai-nilai kemanusiaan, dan mempromosikan kegembiraan melalui sepak bola. 

Elemen yang paling penting dari pembinaan usia dini adalah hubungan sosial, semangat tim dan kegembiraan. Konsep belajar melaui bermain dengan bimbingan pelatih adalah pendekatan spesifik yang di desain untuk merangkul anak-anak dan menciptakan proses yang terhubung dengan masa depan. 

Pelatih harus dinamis, sederhana, dan termotivasi serta harus selalu menghormati karakter fisik, fisiologis dan psikologis anak. Salah satu tujuannya adalah agar harapan terhadap sepakbola dapat dimiliki oleh setiap anak tanpa adanya rasa takut, tekanan ataupun diskiriminasi.

Lalu, mengapa pembinaan sepakbola di akar rumput (Grassroots) di negeri kita saya katakan exstrim?

Pada suatu kesempatan, dimana saya membawa anak didik usia 10 tahun (U-10) dan usia 12 tahun (U-12) pada sebuah even yang diikuti juga peserta dari sekolah sepakbola atau akademi sepakbola lainnya se-wilayah kabupaten. 

Even ini menerbitkan regulasi pertandingan yang telah disepakati semua peserta lewat tehnikal meeting. Salah satu regulasi itu menyebutkan bahwa batas usia pemain / atlit adalah kelahiran 1 Januari di tahun berjalan pada usia 10 tahun / 12 tahun. 

Tapi apa yang terjadi? Pencurian umur. Exstrimnya dimana? Surat-surat penting yang berisi data anak (nama anak dan tanggal kelahiran) dibuat menyesuaikan tahun terkini. 

Rielnya, data anak yang tertera dalam surat penting itu sebenarnya adalah anak lain yang usianya telah melampaui usia sekarang. Orang tua si anak juga rela merogoh dompet mengurus surat-surat penting demi anaknya agar tetap bisa bermain sepakbola di even bergengsi. Memang peran orang tua  dalam hal ini sangatlah fital. 

Tanpa dukungan orang tua,  anak/atlit tidak bisa apa-apa. Namun dukungan orang tua sering kali terlihat berlebihan. Ia sering memaksa anaknya untuk bisa menjadi pemain sepakbola sebagaimana pemain sepakbola dewasa. Terkait dukungan orang tua itu, ekstrimnya dimana? Ketika berlangsung fun game, yang mempertemukan antara SSB M dengan SSB G dimana pertandingan berlangsung seru, keduanya saling menyerang. 

Tiba saatnya SSB M, yang terkenal pendukungnya ibu-ibu yang fanatic, ketika salah satu penyerang SSB M tidak bisa memanfaatkan peluang menjadi gol, tiba-tiba si orang tua masuk lapangan pertandingan. Spontan menghampiri pemain yang gagal bikin gol (yang ternyata adalah anaknya sendiri)  ditarik ke luar lapangan pertandingan. 

Di tepi lapangan terlihat si anak dip*k*l, dimarahi habis habisan. Al hasil si anak menangis bahkan sampai bergetar hebat karena ketakutan dan malu. Belakangan diketahui bahwa si anak adalah pemain pinjaman dari SSB lain.

Sebegitunya, diusia dini sudah terjadi pinjam pemain? Ya, pinjam pemain pada level ini sering terjadi. Meskipun tidak ada nilai kontraknya. Cukup percaya siapa dengan siapa. 

Comot sana comot sini yang penting hasil teurnamen bisa juara, membawa pulang piala. Orang tua, anak serta pendukung fanatiknya puas. Pokonya juara, dan harus juara satu. Juara dua, juara tiga, no way. Dan ini terjadi sungguhan. Pada sebuah kompetisi  resmi, dengan system setengah kompetisi di wilayah kabupaten. 

Diputaran akhir kompetisi, salah satu SSB yang terkenal favorit itu harus menelan pahitnya persaingan kompetisi. Disemifinal harus kalah dengan SSB yang kurang kesohor. 

Otomatis tidak masuk final dan harus menerima hasil sebagai peringkat tiga bersama. Namun apa yang terjadi? SSB Favorit itu pulang sebelum penyerahan piala di panggung kehormatan. Tidak mau menerima trofi juara tiga.

Mereka itu lupa ataukah tidak tahu konsep yang menjadi tujuan dasar pembinaan sepakbola yang telah disusun oleh FIFA Grassroots serta filosofi Filanesia?

Konsep pembinaan sepakbola usia dini harus bertujuan membina anak-anak supaya memahami dasar-dasar bermain sepakbola dengan benar. Bermain, berlatih, dan gembira. Juara adalah hasil kerja keras selama latihan. 

Piala bukan menjadi tujuan utama. Perlu diingat pula factor psikologis anak bahwa di usia 9 -12 tahun adalah masanya usia emas. Artinya diusia emas ini memori anak begitu peka terhadap sesuatu yang dilihat, didengar dan dilakukan. 

Apabila orang yang disekitarnya, dalam hal ini orang tua, guru, pelatih, orang yang lebih tua salah memberikan konsep  maka petaka akan terjadi. Sebab proses belajar / latihan hasilnya akan dirasakan 10 - 15 tahun yang akan datang.

Bilamana kita flashback pada pristiwa-pristiwa memilukan di dunia sepakbola apakah itu efek dari hasil pembinaan yang ekstrim? 135 nyawa meregang di Kanjuruhan, wasit dikeroyok, baku hantam antar pemain , dan lainnya.

Saya sebagai pembina kadang muncul perasaan miris dan prihatin menyaksikan semua hal yang terkait dengan pembinaan sepakbola usia dini di negeri +62. Tidak mampu berbuat banyak. Karena mindset mereka "harus menang, kalah itu dosa" sudah terpatri dalam jiwa raga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun