“Tono! Kenapa kamu kembali ke dalam rumah itu lagi?!”
Aku menengok, mencari sumber suara. Kudapati itu adalah salah satu tetua petani yang baru kubantu di sawah sebelumnya. Aku tersenyum di antara remang-remang cahaya lampu minyak, berjalan mendekatinya. Berjalan memang agak susah di sekitar sini karena landasan yang tidak begitu kokoh dan beralaskan pasir.
“Eh mbah, ada apa?” Dia menggelengkan kepalanya melihatku, menepuk-nepuk pundakku, menunjukkan raut wajah yang terlihat kasihan terhadapku. Kedua tangannya menggenggam pundakku dengan erat. Matanya menatap tajam ke arahku. Dia beberapa kali menghela nafas, hendak mengatakan sesuatu. Akhirnya dia terdiam, mengucapkan kata-kata penuh kesedihan.
“Tono, kamu tidak ingat? Ayah ibumu sudah meninggal dua tahun yang lalu dibunuh oleh para koloni.”