Mohon tunggu...
Ruhuldy M. Marsaoly Ruh
Ruhuldy M. Marsaoly Ruh Mohon Tunggu... -

menjalani kehidupan dengan berpikir dan merenung. itu saja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Prosa Part III; Sopyonje(Mengobati Duka)

14 Mei 2013   16:23 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:35 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti air terjun yang berguling, seperti udang yang menggelepak di tanah, bila melewatilorong-lorong senja ia bagai genangan air yang tenang penu damai. Lautan ini tak bertepi, ujung laut menyatu dengan langit, angin bertiup kencang, ombak-ombak menampar kapal. Jiwa mereka seperti bauh dupa yang mengembang dan menyebar ke angkasa kosmos.

Young pa, sebuah filem cina—yang diperankan oleh segetir keluarga berjumla tiga orang: Ayah, boca laki dan seorang perempuan berwajah muram tapi tak kelam. Melewati hiruk-pikuk hidup tanpa di temani seorang bunda. Sebuah rumah kumo yang kusut hampir roboh adalah kediaman mereka untuk menahan pilu dan gersangnya hidup yang tiada milik apa-apa. Makan sisi yang busuk dan air selokan yang bau adalah sohib perut mereka untuk tetap berdiri. Bila bumi meminta hujun untuk turun, rumah mereka bagai kolang hasil galian tambang yang digenang air.

Demi menyegarkan atau mempertahankan hidup mereka—sebuah alat musik traditional cina yang dikenal sebagai pansori ; mirip jimbe atau tifa/rebana adalah alat untuk mengadakan pentas keliling di sekitaran pasar. Lagu-lagu yang dilantunkan berupa syair-syair pula seperti balasan pantun yang pilu. Ayah mereka berperan sebagai pemandu, boca laki memukul pansori sedangkan si perempuan sebagai vokalisnya. Suarahnya nyaring dan merdu, bila sedang menyanyi tak hanya suaranya yang menyembul ke angkasa, tapi, cucuran air mata juga ikut keluar menetes bumi.

Seusai pentas, hasil dapatan pentas pansori mereka membelanjakan sedikit menu makan demi menahan genjatan perut. Tak hanya itu, setlah seusai menyantap makanan yang dihindangkan sang ayah, mereka memulai untuk berdiskusi; guna mengevaluasi apa kekurangan mereka dalam pentas pansori yang baru saja berlalu.

Tiba-tiba terdengar suara nyaring dan keras keluar dari mulut sang ayah,dengan berwajah merah dan gemetar. Sang ayah bertanya,.. kalian berdua ini kenapa? nyanyi saja tak lepas bebas, (tertuju pada si perempuan), pukulan pansori juga kedengaran tak harmonis, (tertuju pada boca laki.). lanjut si Ayah musik itu seperti jiwa mu, jadi lantunkan nyayian itu seakan kau mennyatu dalam jiwa yang satu, bukan bercerai dengan irama dan nada. Pukulan pansori juga demikian, sebab ada empat ketukan yang harus berbarengan dan bergantian; pelan, lambat, cepat dan keras. Sesuai dimana nyanyian melompat; pelan, keras, cepat dan lambat. Analogi sang ayah, coba kalian bayangkan hidup, ada saat dimana kita menangis, tertawa, diam dan gerak. Empat kalimat ini ada juga dalam nyayian dan pukulan pansori. Dasar bodok,’ kata si Ayah.

Ke esokan harinya, sang ayah memanggil kedua buah hatinya untuk melanjutkan latihan sebelum bergegas berangkat. Namun sang boca laki tak mau bergabung dalam latihan, ia duduk di depan rongsokan sambil merem dan duduk tegak. Terpaksa sang ayah hanya berlati bersama putrinya. Ketika berlatih sang ayah memaksakan agar suara putri dikeras sembari menjiwai dan menikmati. Lagi-lagi si putrinya tak kuat. Tiba-tiba terdengar suara dari luar rumah.

“bagaimana kau menyuruhnya mengeraskan suara, sementara pagi tadi, ia’ hanya menyantap makanan basi tanpa air’. Obrolan terus di keluarkan sang boca, sebab ayah mereka tetap memaksa. Karena tak kuasa mendengar celoteh sang boca. Sang ayah keluar dan menendang si boca dan berkata. “hei…musik itu tak butuh makan, kalau kau menyatu kau akan kenyang dengan sendirinya.

Balas si anak, musik juga butu makan, tak sekedar dimainkan’. Karena membantah sang ayah, tendangan keras pun meloncat mengenai dada si boca. Dengan wajah murung dan mara’, si boca terpaksa berlari sambil berteriak… aku akan pergi, aku tak mau hidup seperti ini. mendengar suara dari si boca, kaka perempuannya mesullangkah kaki sang adik yang berlari. Tangisan-demi tangsian menghiasi jagad. Kemudian sang ayah pun ikut menyusul dan menahan sang putri. Berkata sang Ayah biarkan ia pergi.

Sejak itu, putrinya tak lagi berbicara, bernyayibahkan tak mau makan meski hanya sebutir nasi saja. Tak kuat melihat semua itu, sang ayah terpaksa membutakan anaknya dengan alasan memberikan ia sebuah teh yang segar, hingga sang anak pun tak lagi bisa melihat keadaan sekitar.

Tapi sang ayah tetap mengajarkan kepada anaknya untuk terus memainkan pansori sambil bernyanyi. Putrinya nurut atas perkataan ayahnya, mereka mulai menyusuri lemba demi lemba untuk mencari sebuah tempat yang tenang untuk menhibur hidup mereka dengan pansori dan nyayian sang anak. Setelah tibanya di suatu gubung di atas puncak gunung, sang ayah berkata;

Burung-burung akan menangsi melihat hidup kita
salju yang padat akan segera mencair
musim semi akan berakhir musim panas akan tiba
.

Lanjut sang putri;
langit-langit memberi salam duka
kepakan sayap burung menyuruhku tetap kuat
meski, langkhku layu

Pada suasana lantunan syair, pipih mungil yang hampir keripun dilumuri air mata duka, mereka merem semakin menjadi-jadi, berteriak berbarengan saya hilang, saya hilang apakah ini keabadian, tanya si putri, ‘jawab sang ayah ini cinta ini juga keabadian.


pasase ini, Bagiku, disini ada ketabahan meski badai topan tetap mengepak, susunan bahasa nurani puitis melewati pita suara, dan keluar di bibir mulut. Meski tak dapat menatap eloknya semesta, namun mata batin sang putri masi tetap mengelabui langkah dan jejak hidupnya. Mereka, menerima hidup sebagai kemerdekan, tapi juga menerima bahaya sebagai ketepatan dalam proses. Jasd mereka menggantung di bumi, sementara jiwa mereka trbang menemani yang maha hilang.

mereka, masitetp tegar mengasa duka seperti sedia kala. Mereka, mengobati duka yang telah membara dengan musik dan getaran mistik yang hening. Mereka, bercinta dengan segala, meski tanpa mata mentap.

Dan, di indonesia rupanya banyak manusia yang menikmati hidup seperti sedemikian rupa. Mereka bosan dengan hidup bernegara, mereka lebih menikmati hidup meski diterpa susah dan duka. mereka adalah orang-orang yang menjadi geisa dalam iman dan merasa resa dalam dosa. Bukan gelisa dalm kaya, dan merasa resa karena tak punya mobil.


Mereka, tak sepertipetinggi negara ini—yang seolah hidup sendiri, seakan tak ada kabar angin dari sudut: depan, belakan, atas, bawah hingga kanan-kiri.

Meski dikau masi tak karuan dalam adil, masyarakat indonesia masi tetap mendoakan dan mencintai kalian.

140513, Wonosobo

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun