Mohon tunggu...
Rufus Christian
Rufus Christian Mohon Tunggu... Lainnya - Laki Tulen, Usia 20

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Film

Ave Maryam, Kontra Hati, dan Ego dalam Manusia

20 Oktober 2020   15:01 Diperbarui: 20 Oktober 2020   15:14 881
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Implikasi Sosial film Ave Maryam (2018)

Film Ave Maryam (2018), mengangkat sebuah kisah nyata yang terjadi di Kesusteran Mitra Sepuh Semarang, sekitar tahun 1980. Film ini menceritakan sebuah kisah tentang kisah asmara seorang suster dengan seorang romo. 

Film ini memberikan informasi bahwa suster atau romo, atau biarawan maupun biarawati adalah orang yang mengabdikan diri kepada Tuhan secara penuh, memiliki hidup yang suci dan kudus. Selain itu, Ave Maryam ini mengajarkan juga sebuah rasa menjadi "manusia", yang selalu diberikan pilihan dalam hidupnya yang terkadang pilihan ini adalah pilihan yang bersinggungan dengan prinsip hidup seseorang, atau bisa juga berkaitan kepada ego dan hati, logika dan rasa. 

Jika dilihat pada realita kehidupan, banyak sekali pilihan yang sering datang, dan setiap manusia harus memilih pilihan mana yang harus diambil, dan pilihan tersebut akan menjadi penentu bagaimana hidup kedepannya.

Genre film Ave Maryam (2018)
thejakartapost.com
thejakartapost.com
Genre film Ave Maryam (2018) adalah drama-romantis. Film ini dapat dikatakkan film drama-romantis jika dilihat dari konflik-konflik yang muncul, yang menimbulkan perasaan resah dan tidak tenang. Konflik yang muncul ialah masalah percintaan yang dihadapkan dengan prinsip hidup, yang mana konflik itu membuat film ini sangat menonjolkan genre drama-romantis. 

Konflik yang muncul bukanlah konflik atau masalah biasa, akan tetapi cukup sensitif dan kontroversial. Kisah ini dianggap sangat sensitif karena dalam agama Katholik, suster dan romo, yang mana mereka adalah orang-orang yang mengabdikan dirinya kepada Tuhan, dan dilarang untuk memiliki hubungan asmara dengan orang lain. Sedangkan dalam film ini, tokoh yang berada dalam hubungan "romantis" merupakan suster dan romo. Dari situ lah sebenarnya sudah sangat terlihat genre film Ave Maryam, yaitu drama-romantis.


Paradigma untuk melihat film Ave Maryam (2018)


thejakartapost.com
thejakartapost.com
Paradigma menurut Sarantakos (dalam Manzilati, 2017: 1), merupakan sejumlah posisi yang menjelaskan bagaimana dunia dihayati, mengandung pandangan tentang dunia, cara untuk memecah kompleksitas dunia nyata, menjelaskan apa yang penting, apa yang melegitimasi, dan apa yang masuk akal. Paradigma yang digunakan adalah paradigma fenomenologi. 

Fenomenologi sendiri adalah instrumen untuk memahami lebih jauh tentang hubungan antara kesadaran individu dan kehidupan sosialnya (Wirawan, 2012: 139). Paradigma ini melihat tokoh-tokoh serta interaksi-interaksi yang ada di dalam film Ave Maryam sebagai suatu fenomenanya, isunya, atau masalahnya.


thejakartapost.com
thejakartapost.com


Dalam film Ave Maryam, sebenarnya terdapat banyak hal yang dapat dikulik dan diamati bagaimana sebuah interaksi, komunikasi, atau konflik tercipta dari berbagai paradigma. Namun, dalam paradigma fenomenologi, akan berfokus kepada individu, upada film yang dapat menjadi masalah, atau konflik dan bahkan dapat membuat emosi dalam film semakin terasa karena melihat kepada tokoh-tokoh yang ada, terutama suster Maryam dan romo Yosef. 

Salah satu hal yang menarik dari film ini adalah bagaimana tokoh suster Maryam dan romo Yosef memiliki keyakinan yang sama dan kemauan yang sama untuk berbahagia, namun keyakinan dan kebahagian ini saling bertolak belakang. Mereka sadar bahwa perasaan mereka merupakan hal yang salah pada bagian awal cerita dan juga akhir cerita. Melihat persepsi serta ideologi dasar yang ada dan disetujui oleh realita yang ada (termasuk ideologi yang disetujui penonton pada saat menonton), seharusnya suster Maryam dan romo Yosef tidak menjalankan hubungan asmara.


Ave Maryam adalah film Sukarela 

Ave Maryam sebelum masuk kebioskop Indonesia, sebelumnya berlaga dalam festival film internasional, siapa sangka merupakan film yang diproduksi secara sukarela. Dalam proses produksinya, kru, direktur, maupun pemain tidak ada yang dibayar. Hal tersebut dapat terjadi karena memang dasar pembuatan film ini secara sukarela, dan semua orang yang terlibat dalam produksi film memiliki visi yang sama, yaitu ingin memberikan warna baru dalam perfilman.

Pemeran suster Maryam sempat dipermasalahkan. Maudy Koesnadi, sebagai pemeran suster Maryam sempat dipermasalahkan terkait agama yang dianutnya. Proses produksi ini sempat dianggap mencari sensasi karena hal tersebut. Akan tetapi, semua kembali kepada dasar visi dan menghiraukan komentar-komentar yang dianggap tidak benar. (bersumber dari medcom.id)


nama-5f8e957cd541df4a8d5c2f13.jpeg
nama-5f8e957cd541df4a8d5c2f13.jpeg



Pesan dalam Dialog maupun Unsur-Unsur yang ada dalam film Ave Maryam yang Tersirat

Ave Maryam mungkin terlihat sebagai film yang menceritakan bagaimana romo Yosef dan suster Maryam yang saling memiliki rasa satu sama lain, akan tetapi, jika digali lebih dalam lagi, ada banyak hal yang dapat dimaknai walau bersifat implisit atau tersirat. Salah satu hal yang mungkin sederhana adalah nama Maryam. Nama Maryam sendiri memiliki kesan yang sangat islami. Ajaran Islam, Maryam merupakan ibu dari nabi Isa. Pada film ini, nama Maryam sempat menjadi permasalahan karena tokoh Maryam di film ini menjadi tokoh utama yang menjadi suster. Selain unsur tersebut, masih terdapat hal lain yang dapat dilihat lagi pemaknaan dari interaksi dan komunikasi tokoh yang ada dalam Ave Maryam dengan menggunakan teori yang ada.

Teori yang digunakan untuk melihat nilai atau makna yang sifatnya implisit dalam Ave Maryam adalah teori semiotika. Teori semiotika menurut Zoest (dalam buku Lontawa, 2017: 1) adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan hal yang berkaitan dengan sistem tanda dan proses tanda yang berlaku pada penggunaan tanda. Film yang memiliki teks dan bahasa di dalamnya, tentu dapat dianalisis dengan semiotika terkait nilai atau pemaknaannya. Pada bagian ini, konsep teori semiotika yang digunakan adalah konsep milik Roland Barthes.

Berikut beberapa adegan yang cukup menarik, yang akan dilihat makna-makna implisit di dalamnya.


Adegan 1

Dok. pribadi
Dok. pribadi


Adegan 2

Dok. pribadi
Dok. pribadi

Adegan 3

Dok. pribadi
Dok. pribadi


Adegan 4

Dok. pribadi
Dok. pribadi


Adegan 5

Dok. pribadi
Dok. pribadi

Banyak sekali adegan yang memiliki nilai di mana terdapat ego yang memakan hati, dan juga hati menutup ego. Memang sesuatu yang sulit bagi manusia untuk menentukan bahagia atau prinsip hidup yang telah ditentukan. Film ini mengajarkan sesuatu yang tidak dapat dijelaskan dengan menonton saja tetapi juga harus dipahami dan dirasakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun