Aku mondar-mandir di kamar. Mondar-mandir ke ruang tengah, ke dapur, ke ruang tamu, ke teras. Semua pemeran di tivi yang sedang ku tonton wajahnya jadi wajah Handoko. Bingung aku!
"Ya Allah! Cerpenku ketinggalan di perpustakaan, kemarin! Padahal hari ini terakhir dikirimnya!"
"Istighfar, Nang. Sarapan dulu baru berangkat sekolah." Ibu yang bersiap ke kantor bersikeras mendudukanku untuk sarapan.
***
Sungguh baru kali ini aku berlari dari parkiran sepeda ke perpustakaan. Sedari perjalanan, aku bersumpah kalau menang semua hadiahnya akan kuberikan untuk Handoko. Sial, perpustakaan belum buka.
Aku kembali berlari ke ruang guru yang masih lengang, mencari Bu Asri. Enatah berharap apa. Yang penting ketemu Bu Asri dulu.
"Bu Asri... anu perpustakaannya..cerpenku..," nafasku berderu cepat tak dapat ku kendalikan.
"Ada apa dengan perpustakaan dan cerpen, Rul? Sini duduk dulu, tarik nafas panjang dan minum teh manis nih."
"Bu, cerpenku tertinggal di perpustakaan dan hari ini hari terahir mengirimkannya. Sementara itu belum sempurna selesai Bu."
Sudah kukatakan. Entah kenapa wajahku rasanya panas, aku tertunduk menggenggam kuat-kuat tanganku. Sesak sekali dadaku.
"Jangan nangis Rul, masih ada waktu sampai jam dua belas siang ini." Kata-kata Bu Asri yang menenangkan entah mengapa tak membuat tangisku enggan berhenti.