Empat Sehat Lima Sempurna. Barangkali di antara Anda masih ingat program yang dikampanyekan oleh Kementerian Kesehatan ini.
Konsep empat sehat ini terdiri dari makanan pokok (nasi), lauk-pauk, sayur-sayuran, dan buah-buahan. Dan yang lima sempurna adalah susu.
Seiring dengan dengan digencarkan nya pembangunan di segala bidang, termasuk di bidang kesehatan dan program-program lainnya, maka nampaknya konsep Empat Sehat Lima Sempurna ini sudah lebih akrab di masyarakat Indonesia.
Namun jika melihat pada sejarahnya, terutama susu. Minuman yang bergizi itu sangat sulit, bahkan tidak sama sekali dikonsumsi oleh masyarakat pribumi kelas bawah, maupun menengah.
Kebiasaan orang-orang Eropa yang lebih dahulu menyerap tradisional minum susu berdampak pula kepada bangsa Belanda.
Orang-orang Belanda yang menjadi kolonisasi di Indonesia (Hindia-Belanda) pada waktu itu membawa kebiasaan baik itu ke negara jajahannya.
Dalam hal itu, bahkan bangsa Belanda yang mempunyai tradisi gembala pada waktu itu terkenal dengan kualitas susu perahnya yang baik.
Setidaknya sebelum masa kemerdekaan, kebiasaan minum susu perah orang-orang bule itu sangat berbeda jauh dengan kebiasaan orang-orang di Nusantara pada kala itu.
Minuman susu pada masa itu sangat tidak akrab di lidah orang-orang Indonesia. Bahkan timbul penilaian jika minuman itu adalah hal yang menjijikkan, diambil dari hewan (sapi atau kerbau). Hal itu sama saja dengan makan daging.
"Orang pribumi menganggap susu pada waktu itu menjijikkan. Sama dengan darah atau nanah yang ada pada tubuh hewan," kata Fadly Rahman, seorang dosen di Departemen Sejarah Universitas Indonesia (UI).
Tidak dikonsumsi nya susu di Asia, termasuk Indonesia, dikarenakan orang-orang Asia ini mata pencahariannya atau tidak memiliki tradisi menggembala seperti halnya orang-orang di Eropa.
Dalam bukunya The History of Java, Gubernur Jenderal Inggris Thomas Stamford Raffles menulis jika orang-orang Asia khususnya di negara-negara agraris seperti di Cina Selatan dan Asia Tenggara, hanya fokus pada hasil-hasil bercocok tanam.
Raffles juga menulis jika penduduk Indonesia khususnya Jawa mendayagunakan kerbau sebagai hewan penarik. Belum ada pikiran mereka untuk mengambil susunya.
Hal itulah yang menyebabkan mengapa hewan berkualitas menghasilkan susu sangat sedikit jumlahnya di Indonesia.
Hal inilah yang mendorong pemerintah Hindia-Belanda untuk berupaya mengembangkan hewan susu perah, dengan di antaranya mendatangkan sapi-sapi dari Belanda, Australia, dan India. Pada abad ke 19 dan 20.
Daerah dingin Lembang di Bandung menjadi yang pertama ditempati oleh sapi-sapi perah itu. Terutama ditujukan untuk konsumsi orang-orang Eropa di Hindia-Belanda.
Fadly mengatakan daerah Lembang memang iklimnya sama seperti di Belanda, dingin, sehingga sangat cocok untuk beternak sapi perah.
Dari catatan sejarah, pada tahun 1938 di Bandung ada 22 perusahaan yang mengolah susu sapi perah yang menghasilkan sekitar 13.000 liter susu per hari.
Lantas produksi itu ditampung oleh BMC (Bandoengsche Melk Centrale)Â atau PSB (Pusat Susu Bandung). BMC inilah yang mengolah susu itu sebelum disalurkan kepada para pelanggan di dalam maupun luar kota.
Menurut Achmad Sunjayadi, seorang pengajar studi Belanda di Universitas Indonesia, Direktur BMC itu agak sedikit sombong.
"Direktur BMC mengatakan bahwa PSB adalah satu-satunya pusat pengolahan susu di Nusantara," kata Achmad Sunjayadi.
Kaum pribumi, masyarakat kecil, atau menengah Indonesia pada saat itu tidak kebagian minuman bergizi susu. Yang minum susu perah hanyalah orang-orang Belanda dan kaum elite Indonesia.
Sepertinya minuman yang satu ini masih barang yang sangat mewah dan bergengsi pada waktu itu. Masyarakat juga belum mengetahui akan khasiat dari mengonsumsi susu itu.
Namun seiring berjalannya waktu, terutama setelah proklamasi kemerdekaan RI, setidaknya kaum priyayi dan mereka yang berpendidikan sudah faham jika susu perah mengandung banyak gizi.
Fadly mengatakan susu mulai diperkenalkan kepada masyarakat, khususnya lewat tayangan iklan di media-media massa seiring berkembangnya industri periklanan di akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20.
Fadly juga mengatakan, berdasarkan kongres FAO (Food and Agricultural Organization), seorang ahli gizi Indonesia yang bernama Poorwo Soedarmo, menyusun pola konsumsi sehat bagi masyarakat Indonesia yang terdiri dari kedelai, kacang hijau, dan susu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H