Mohon tunggu...
Rudy W
Rudy W Mohon Tunggu... Lainnya - dibuang sayang

Ngopi dulu ☕

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kisah Kehidupan Suku Jawa di Kaledonia Baru, Kini Banyak yang Jadi Pejabat dan Sukses

5 Juni 2021   11:06 Diperbarui: 8 Juni 2021   19:26 1528
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suku Jawa merupakan suku bangsa yang terbesar. Dilihat dari populasinya, orang-orang Jawa ini merupakan pemegang porsi 41 persen dari keseluruhan penduduk Indonesia.

Bukan hanya di Jawa (Timur, Tengah, dan Yogyakarta), namun penduduk Jawa juga ada di luar wilayah itu, baik di dalam maupun luar negeri.

Suriname menjadi negara dimana orang Jawa mempunyai populasi yang terbesar di luar negeri. Dan nomor dua terbanyak adalah di Kaledonia Baru, sebuah wilayah yang terletak di sub benua Melanesia di sebelah barat daya Samudera Pasifik.

Mengapa orang Jawa sampai ada Kaledonia Baru?

Jumlah keturunan Jawa di negara jajahan Perancis itu saat ini berkisar sekitar 7.000 orang dari total keseluruhan 225.000 penduduk di negara yang beribukota Noumea itu.

Keturunan Jawa di masa modern ini sudah sangat jauh kondisinya dibandingkan ketika mereka hijrah ke sana untuk pertama kalinya sejak tahun 1896.

Diaspora Jawa di negara yang terletak di sebelah timur Australia dan sebelah utara Selandia Baru itu kini sudah sejahtera. Mereka berprofesi di bidang pemerintahan, berpangkat militer, pengusaha kaya raya, dan banyak profesi lainnya yang menjanjikan.

Diaspora Jawa di Kaledonia Baru ini adalah "Perancis di bibir, namun Jawa di hati". Karena lama meninggalkan kampung halamannya di Indonesia, mereka pada kesehariannya menggunakan bahasa Perancis sebagai bahasa resmi di sana.

Namun mereka juga masih menggunakan bahasa leluhurnya bahasa Jawa dalam percakapan antara mereka. Terkecuali generasi milenial nya yang tidak bisa lagi berbahasa Jawa, mereka hanya menggunakan bahasa Perancis.

Mereka pun sampai saat ini masih tidak meninggalkan adat istiadat atau budaya tanah leluhurnya. Yang berkaitan dengan agama, agama mayoritas yang dianut mereka adalah Islam 

Berkaitan dengan ritual-ritual tertentu, ketika di Jawa tahlilan atau nyadran (mengunjungi makam keluarga di hari sebelum puasa atau lebaran). Mereka pun masih melakukannya.

Tahlilan adalah berkumpul dan berdoa bersama untuk anggota keluarga yang sudah meninggal.

Namun ada sedikit perbedaan dalam melaksanakan ritual nyadran itu. Hal tersebut dikisahkan oleh Konsul Jenderal RI di Kaledonia Baru, Widyarka Ryananta.

"Sesudah membersihkan makam bersama-sama kemudian Pak Kyai berdoa secara Islam. Lalu diteruskan berdoa secara Katolik," kata Ryananta.

Itu dikarenakan kendati beragama Islam, namun suami, isteri, atau pihak keluarga lainnya sudah ada yang beragama Katolik.

Diaspora Jawa dan Arab juga banyak membuka restoran-restoran halal, selain membuka gerai-gerai makanan khas Jawa, dari tanah leluhurnya.

Muslim Sunni adalah agama Islam yang dianut diaspora Jawa di Kaledonia Baru. Antropolog Clifford Geertz menyebutnya dengan Islam abangan. Entah apa maksudnya. Pada tahun 1986 sebuah Islamic Center dibangun di Noumea, ibukota Kaledonia Baru.

Berbagai aktivitas Islami dilakukan di sana bekerjasama dengan Konsulat Jenderal RI.

Sila disimak nama-nama diaspora Jawa ini.

Yannick Slamet adalah Wakil Gubernur Propinsi Utara. Corine Volsin Walikota La Foa. Brigitte El Arabi Walikota Bourail, dan sebagainya. Mereka adalah beberapa diaspora Jawa yang sukses di Kaledonia Baru.

Sejatinya ada tiga gelombang yang membawa orang-orang Jawa hingga menetap di sana.

Berdasarkan Koeli Ordonantie, pada tahun 1896 Pemerintah Perancis membawa 170 orang Jawa dari Hindia Belanda untuk dipekerjakan di pertambangan nikel di Kaledonia Baru. Setelah kontraknya yang berdurasi lima tahun habis, kebanyakkan dari mereka tidak ingin kembali ke Indonesia, mereka ingin menetap di sana.

Sedangkan gelombang kedua lebih dari 7.800 orang dibawa pada kurun 1933-1939 untuk dipekerjakan di tambang nikel dan perkebunan kopi.

Hal itu terjadi karena Kaledonia Baru kekurangan tenaga kerja pada saat itu, padahal produksi nikel dan kopi sedang meningkat.

Selain di tambang nikel dan perkebunan kopi, mereka juga bekerja di rumah tangga.

Sedangkan gelombang ketiga atau yang terakhir terjadi pada akhir 1969 sampai awal 1970 dimana pada saat itu lebih dari seribu orang Indonesia datang ke Kaledonia Baru terutama untuk membangun menara St. Quentin di Magenta, dan juga membangun beberapa jembatan di Cole Est dan Cole Quest.

Semula bersatus sebagai wilayah seberang lautan Perancis sejak 1946. Pada 4 Nopember 2018 digelar referendum.

Hasilnya 56,4 persen masih ingin tetap bersama Perancis, sedangkan sisanya (43,6 persen) ingin berdiri sendiri. 

Pada tahun 1953 status kewarganegaraan Perancis diberikan kepada semua penduduk Kaledonia Baru tanpa memandang status dan etnis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun