Ada suku Batak di Filipina. Betul. Namun pada kenyataannya, tidak banyak yang tahu, mengapa orang-orang Batak sampai ada di Filipina?
Hal tersebut dapat diketahui dari para arkeolog. Para arkeolog menemukan ada sekelompok orang-orang yang memiliki kesamaan dengan suku Batak di Sumatera, baik dari segi bahasa, adat istiadat, maupun tradisional.
Bahkan orang-orang Spanyol yang lama menjadi penjajah di Filipina mengidentifikasikan dan menyebut Batak Filipina dengan "Tiniatianies".
Tiniatianies merupakan satu dari 70 suku bangsa di Filipina yang mendiami negara kepulauan itu.
Data pada tahun 1990an, keberadaan mereka berkisar hampir 500 populasi. Jika di Batak Sumatera ada adat perkawinan yang mana pihak mempelai pria harus datang ke rumah pihak mempelai wanita dengan mahar. Demikian halnya ditemukan hal yang sama di Batak Filipina.
Sebuah novel yang berjudul "Sebuah Desa Bernama Poon" karya seorang penulis wanita Filipina bernama Sionil Jose, banyak melukiskan pola kehidupan Batak Filipina pada era penjajahan Spanyol dan Amerika.
Banyak kemiripan dalam berbagai hal antara Batak Filipina dan Batak Sumatera. Di antaranya soal bahasa, misalnya sangsang, mangan, inong dan sebagainya.
Novel itu juga menceritakan tentang ramuan untuk mengobati sakit perut atau jiwa kepemimpinan yang ulet yang mirip antara Batak Filipina dan Batak Sumatera.
Kesamaan lainnya juga ada pada soal adanya marga (Batak Filipina juga memiliki marga), bentuk bangunan, atau pun cara berpakaian.
Seiring berjalannya waktu, sangat disayangkan komunitas orang-orang Batak Filipina semakin mendekati punah karena berbagai hal, salah satunya karena adanya perkawinan antar klan di sana.
Kendati Batak Filipina lebih dikenal sebagai suku yang primitif, hidup nomaden, dan menganut animisme dan dinamisme, namun ada satu dua dari mereka yang konon pernah mengunjungi wilayah leluhurnya di Sumatera dengan status sebagai wisatawan.
Sejumlah wisatawan yang tiba di wilayah Samosir dan Parapat beberapa tahun lalu mengatakan mereka seakan merasa di kampung halamannya sendiri di Filipina. Mereka heran ternyata banyak kemiripan antara situasi di kampung halamannya di Filipina dengan situasi di Samosir dan Parapat.
Dari soal bahasa yang ceplas-ceplos khas Batak, jenis makanan yang ada di warung-warung, sampai ke bentuk kuburan atau tugu.
"Mereka merasa seperti di kampung halamannya sendiri," kata guide yang mendampingi mereka.
Nampaknya sebagian dari wisatawan itu adalah orang-orang Batak Filipina juga.
Dalam sejarah disebutkan jika pada abad ke 14 telah terjadi relasi hubungan dagang antara suku-suku yang ada di Nusantara, termasuk Batak, dan suku lainnya seperti Sunda, Jawa, Minang, dan Palembang dengan suku-suku yang ada di Filipina.
Lingua franca atau bahasa pengantar yang digunakan mereka adalah bahasa Melayu. Diperkirakan Tiniatianies yang ada di Filipina itu berawal dari abad itu.
Dalam soal bahasa juga ada banyak kemiripan antara Bahasa Indonesia dengan bahasa-bahasa yang ada di Filipina. Misalnya kata "salamat" dalam bahasa Tagalog artinya "terimakasih".
Ada juga kata matay (mati), apoy (api), baboy (babi). Atau basa (baca), ako (aku), itim (hitam) dan sebagainya.
Soehardi yang pernah menjadi pengajar Bahasa Indonesia di Filipina bahkan mengatakan ada sekitar 10.000 bahasa Tagalog yang mirip dengan Bahasa Indonesia. Jumlah ini cukup banyak, mengingat kosakata Bahasa Indonesia sendiri ada sekitar 100.000-150.000 kata.
Soehardi juga mengklaim dia dapat menguasai bahasa Mindanao hanya dalam waktu tiga bulan saja sejak kedatangannya ke Filipina untuk kuliah. Karena banyak kemiripan.
Filipina dan Indonesia memang satu saudara dalam bahasa. Tidak sedikit generasi Filipina sekarang mengakui bahwa Filipina dan Indonesia ini banyak kemiripan dalam soal bahasa dan budaya.
Bahasa-bahasa yang ada di Filipina dan Bahasa Indonesia memang termasuk ke dalam rumpun bahasa Austronesia seperti yang disebutkan oleh para linguis (ahli bahasa).
Austronesia ini berasal dari Pulau Formosa (Taiwan) yang bermigrasi besar-besaran ke wilayah selatan. Dari Taiwan mereka ke Filipina. Dari Filipina ke Nusantara. Terus ke timur.
Tidak heran dalam soal fisik maupun agama banyak kemiripan antara orang-orang di Sulawesi Utara yang bertetangga dengan Filipina.
Dan para Tiniatianies itu juga menetap di Filipina setelah mereka berkomunikasi dagang pada abad ke 14 seperti yang sudah disebutkan di atas. Mereka tidak kembali ke wilayah Sumatera.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H